ANALISA
MUTU PANGAN DAN HASIL PERTANIAN
NAMA :
NURUS ZAHRO
NIM : 121710101044
KELAS :
THP-A
KELOMPOK/SHIFT : 1 (Satu)/1
TGL LAPORAN : 25 Oktober 2013
FAKULTAS
TEKNOLOGI PERTANIAN
JURUSAN
TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2013
BAB 1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kadar abu
merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada
suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air,
sedangkan sisanya merupakan unsur – unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai
zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukkan total mineral
dalam suatu bahan pangan. Bahan – bahan organik dalam proses pembakaran akan
terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai
kadar abu.
Penentuan
kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk
menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan , mengetahui jenis bahan yang
digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan.Abu
adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar
abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan,
kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar
abu maka bubuk cokelat tersebut kurang bersih dalam pengolahannya, yaitu pada
saat pemisahan biji dari kulit ari ada sebahagian kulit yang ikut menjadi bubuk
cokelat.
Terdapat dua
metode pengabuan antara lain metode pengabuan kering dan metode pengabuan
basah. Namun pada praktikum hanya dilakukan metode pengabuan kering. Metode
pengabuan kering bekerja dengan cara mengoksidasi semua zat organik pada suhu
tinggi.
1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui cara analisis kadar abu bahan pangan
dan hasil pertanian.
b. Untuk mengukur kadar abu bahan pangan dan hasil pertanian dengan
metode pengabuan kering.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metode
Pengabuan
2.1.1
Metode Pengabuan Kering
Prinsip
dari pengabuan cara kering yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada
suhu tinggi, yaitu sekitar 500–600ºC dan kemudian melakukan penimbangan zat
yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996).
Mekanisme pengabuan pada percobaan ini adalah pertama-tama krus porselin dioven
selama 1 jam. Krus porselin adalah tempat atau wadah yang digunakan dalam pengabuan,
karena penggunaannya luas dan dapat mencapai berat konstan maka dilakukan
pengovenan. Kemudian didinginkan selama 30 menit, setelah itu dimasukkan
eksikator. Lalu timbang krus sebagai berat a gram. Setelah itu masukkan bahan
sebanyak 3 gram kedalam krus dan catat sebagai berat b gram. Pengabuan di
anggap selesai apabila di peroleh pengabuan yang umumnya berwarna putih abu-abu
(Tamiang, 2011).
Pengabuan yang dilakukan didalam muffle
dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
a.
Pemanasan
pada suhu 300ºC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi
kandungan bahan yang bersifat volatile dan bahan
berlemak hingga kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
b.
Pemanasan pada suhu 800ºC yang dilakukan
agar perubahan suhu pada bahan maupun porselin tidak secara tiba-tiba agar
tidak memecahkan krus yang mudah pecah pada perubahan suhu yang
tiba-tiba. Setelah pengabuan selesai maka dibiarkan dalam tanur selama 1
hari. Sebelum dilakukan penimbangan, krus porselin dioven terlebih dahulu dengan
tujuan mengeringkan air yang mungkin terserap oleh abu selama didinginkan dalam
muffle dimana pada bagian atas muffle berlubang sehingga
memungkinkan air masuk, kemudian krus dimasukkan dalam eksikator yang telah
dilengkapi zat penyerap air berupa silica gel. Setelah itu dilakukan
penimbangan dan catat sebagai bera c gram. Beberapa kelemahan maupun kelebihan
yang terdapat pada pengabuan dengan cara lansung. Beberapa kelebihan dari cara
langsung, antara lain:
a. Digunakan
untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil pertanian, serta
digunakan untuk sampel yang relatif banyak,
b. Digunakan untuk menganalisa abu yang
larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang tidak larut dalam asam, dan
c.
Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan
resiko akibat penggunaan reagen yang berbahaya.
Sedangkan kelemahan dari cara
langsung, antara lain :
a.
Membutuhkan waktu yang lebih lama,
b.
Tanpa penambahan regensia,
c.
Memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan
d.
Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi (Apriantono,
1989).
2.1.2
Metode Pengabuan Basah
Prinsip
pengabuan cara basah yaitu memberikan reagen kimia tertentu pada bahan sebelum
dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol
ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu tunggi.
Proses pemanasan mengakibatkan gliserol alkohol membentuk kerak sehingga menyebabkan
percepatan oksidasi. Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat
permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar
porositas, sehingga mempercepat proses pengabuan. Mekanisme pengabuannya adalah
pertama-tama krus porselin dioven selama 1 jam. Kemudian didinginkan selama 30
menit, setelah itu dimasukkan ke dalam eksikator (Sudarmadji, 1996). Lalu
timbang krus sebagai berat a gram. Setelah itu masukkan bahan sebanyak 3 gram
kedalam krus dan catat sebagai berat b gram. Kemudian ditambahkan gliserol
alkohol 5 ml dan dimasukkan dalam tanur pengabuan sampai warna menjadi putih
keabu-abuan. Setelah terjadi pengabuan, abu yang terbentuk dibiarkan dalam muffle
selama 1 hari. Sebelum dilakukan penimbangan, krus porselin dioven terlebih
dahulu dengan tujuan mengeringkan air yang mungkin terserap oleh abu selama
didinginkan dalam muffle dimana pada bagian atas muffle berlubang
sehingga memungkinkan air masuk, kemudian krus dimasukkan dalam eksikator yang
telah dilengkapi zat penyerap air berupa silica gel. Setelah itu
dilakukan penimbangan dan catat sebagai berat c gram. Suhu yang tinggi
menyebabkan elemen abu yang bersifat volatile seperti Na, S, Cl, K dan P
menguap. Pengabuan juga menyebabkan dekomposisi tertentu seperi K2CO3 dan
CaCO3. pengeringan pada metode ini bertujuan untuk mendapatkan berat konstan.
Sebelum sampel dimasukkan dalam krus, bagian dalam krus dilapisi silica gel
agar tidak terjadi pengikisan bagian dalam krus oleh zat asam yang terkandung
dalam sampel dan utnuk menyerap air yang kemungkinan ada pada kurs.
Kelebihan dari cara tidak langsung,
meliputi :
a.
Waktu yang diperlukan relatif singkat,
b.
Suhu yang digunakan relatif rendah,
c.
Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relatif rendah,
d.
Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat pengabuan
Sedangkan kelemahan yang terdapat
pada cara tidak langsung, meliputi :
a.
Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam beracun,
b.
Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya, dan
c.
Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan.
2.2 Penjelasan Bahan
Baku
2.2.1 Gingseng Sereal
Ginseng (Panax ginseng) diketahui
mengandung saponin, antioksidan, peptida, polisakarida, alkaloid, lignans, dan
poliasetilen. Saponin dikenal sebagai ginsenosides yaitu komposisi utama
bioaktif (Jo et al., 1995; Sticher, 1998; 2 Palazon et al., 2003).
Nilai gizi pada gingseng sereal adalah
sebagai berikut :
Nilai gizi rata-rata
|
Per 100 g
|
Per porsi*
|
|
energi
|
kal
|
425
|
148
|
Protein
|
g
|
6
|
2,1
|
Lemak
|
g
|
10
|
3,5
|
Serat kasar
|
g
|
4
|
1,4
|
mineral
|
g
|
3
|
1,1
|
*1 sachet : 35 g + 150 cc air panas
|
2.2.2 Kakao
Kakao (Theobroma cacao) adalah nama biologi
yang diberikan pada pohon kakao oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah
dari genus Theobroma adalah di bagian
hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan teduh.
Dalam kondisi seperti ini Theobroma cacao
jarang berbuah dan hanya sedikit menghasilkan biji (Spillane, 1995).
Berdasarkan daerah asalnya kakao tumbuh dibawah naungan pohon-pohon yang
tinggi. Habitat seperti itu masih dipertahankan dalam budi daya kakao dengan
menanam pohon pelindung. Kakao mutlak membutuhkan naungan sejak tanam sampai
umur 2 - 3 tahun. Tanaman muda yang kurang naungan pertumbuhannya akan
terlambat. Tanaman ini juga tidak tahan angin kencang sehingga tanaman
pelindung (penaung) dapat berfungsi sebagai penahan angin (Poedjiwidodo, 1996).
Penaung kakao sangat diperlukan dalam mengatur intensitas penyinaran sinar
matahari, tinggi suhu, kelembaban udara, menahan angin, menambah unsur hara dan
organik, menekan tumbuhan gulma, dan memperbaiki struktur tanah. Intensitas
sinar matahari untuk tanaman muda yang berumur 12 - 18 bulan sekitar 30 – 60 %.
Sedangkan untuk tanaman yang sudah produktif, intensitas penyinaran adalah 50 –
75 % (Susanto, 1994)
2.2.3 Susu jahe
Jahe
(Zingiber officinale Roscoe) merupakan salah satu tanaman temu-temuan
yang tergolong tanaman apotek hidup. Jahe dipercaya secara tradisional dapat
menghilangkan masuk angin, mengurangi atau
mencegah influenza, rematik dan batuk serta mengurangi rasa sakit dan
bengkak Rukmana (2004).
Menurut
Ariviani (1999), jahe memiliki berbagai kandungan zat yang diperlukan oleh
tubuh manusia, ada beberapa kandungan zat yang terdapat pada jahe yaitu minyak
atsiri (0,5 - 5,6%), zingiberon, zingiberin, zingibetol, barneol, kamfer,
folandren, sineol, gingerin, vitamin (A, B1, dan C), karbohidrat (20 – 60%)
damar (resin) dan asam – asam organik (malat, oksalat), untuk jahe selain
sebagai antimikroba, jahe juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan.
Dari
hal diatas yang letar belakangi pembuatan susu bubuk jahe penambahan susu
dengan penambahan ekstrak jahe tidak hanya menambah citarasa dan aroma, tetapi
dapat meningkatkan kandungan antioksidan pada susu. Namun perlu diperhatikan
banyaknya penambahan ekstrak jahe pada susu ,dikarenakan jahe memiliki rasa
pedas yang kuat, sehingga dapat mempengaruhi aroma serta cita rasa dari susu
itu sendiri (Uhl, 2000 dalam Irfan,2008)
2.2.4
Ikan Asin
Ikan
asin adalah ikan yang sudah melalui proses penggaraman dan pengeringan, sebagai
bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino
essensial, ikan asin sangat diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai
biologisnya mencapai 90 persen, dengan jaringan pengikat sedikit sehigga mudah
dicerna (Adawyah, Rabiatul, 2007).
2.2.5
Kopi
Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), buah kopi umumnya mengandung 2 butir
biji, tetapi kadang-kadang hanya mengandung satu butir saja. Biji kopi ini
disebut biji kopi lanang/kopi jantan/kopi bulat. Buah kopi yang sudah masak
pada umumnya akan berwarna kuning kemerahan sampai merah tua. Tetapi ada juga
yang belum cukup tua tetapi telah terlihat berwarna kuning kemerahan pucat
yaitu kopi yang terserang hama bubuk buah kopi. Buah kopi yang terserang hama
bubuk ini mengering di tangkai atau luruh ke tanah. Buah kopi yang kering tersebut dipetik dan yang luruh di tanah dipungut secara terpisah
dari buah masak yang dinamakan pungutan
”lelesan”. Pada akhir masa panen dikenal rampasan atau racutan yaitu memetik
semua buah yang tertinggal di pohon sampai habis, termasuk yang masih muda.
Petikan rampasan ini dimaksudkan guna memutus siklus hidup hama bubuk buah.
Pemetikan buah kopi dilakukan secara manual (Ciptadi dan Nasution1985; Najiyati
dan Danarti 2006).
Di dunia perdagangan dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling
sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta, dan Liberika. Kopi Robusta bukan
nama spesies karena kopi ini merupakan keturunan dari beberapa spesies kopi
terutama Coffea canephora. Kopi
Robusta berasal dari hutan-hutan
khatulistiwa di Afrika, yang membentang dari Uganda hingga Sudan Selatan,
bahkan sampai Abyssinia Barat sepanjang curah hujan mencukupi. Kopi ini masuk
ke Indonesia pada tahun 1900 dan saat ini termasuk jenis yang mendominasi perkebunan
kopi di Indonesia (Retnandari dan Tjokrowinoto, 1991)
Kopi bubuk adalah biji kopi
yang telah disangrai kemudian digiling, dengan atau tanpa penambahan bahan lain
dalam kadar tertentu yang tidak membahayakan kesehatan(SNI 01 – 3542 – 2004).
Pada pembuatan kopi digunakan dua cara yaitu tahap perendangan (penyaringan)
dan tahap penggilingan. Pada proses perendangan atau penyangraian adalah proses
pemanasan kopi beras pada suhu 200-225oC, dengan tujuan untuk mendapatkan kopi
rendang yang berwarna cokelat kayu manis kehitaman.sedangakan untuk
penggilingan adalah proses pemecahan butir-butir kopi yang telah direndang
untuk mendapatkan kopi bubuk (Najiati et al.2006).
2.3
Prinsip Analisa Pengabuan Kering
Prinsip
dari pengabuan cara kering yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada
suhu tinggi, yaitu sekitar 500–600ºC dan kemudian melakukan penimbangan zat
yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996).
Mekanisme pengabuan pada percobaan ini adalah pertama-tama krus porselin dioven
selama 1 jam. Krus porselin adalah tempat atau wadah yang digunakan dalam
pengabuan, karena penggunaannya luas dan dapat mencapai berat konstan maka
dilakukan pengovenan. Kemudian didinginkan selama 30 menit, setelah itu
dimasukkan eksikator. Lalu timbang krus sebagai berat a gram. Setelah itu
masukkan bahan sebanyak 3 gram kedalam krus dan catat sebagai berat b gram. Pengabuan
di anggap selesai apabila di peroleh pengabuan yang umumnya berwarna putih
abu-abu (Tamiang, 2011).
2.4
Pengabuan Penting Bagi Sebagian Produk Makanan
Penentuan
kadar abu total untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau
tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, mengetahui
pemalsuan produk pangan, mengetahui kontaminasi mineral yg bersifat toksik,
sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan dan untuk mengetahui
jenis bahan yang digunakan sebagai parameter nilai bahan makanan.
BAB 3. METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1
Alat
a.
Tanur pengabuan / muffle
b.
Eksikator
c.
Kurs porselin
d.
Neraca analitis
e.
Penjepit kurs
f.
Oven
g.
Spatula
3.1.2
Bahan
a.
Kopi Torabika
b.
Kopi jahe
c.
Kopi kapal api
d.
Sereal jahe Nescafe
e.
Kakao
f.
Ikan asin
3.2 Prosedur Analisa
Pertama kurs porselin dioven 15 menit
gunanya untuk mendapatkan kurs porselin dengan berat konstan. Eksikaor 5 menit
untuk menstabilkan kelembapan dan timbang sebagai a gram. Tambahkan bahan
sebanyak 3-10 gram dan timbang sebagai b gram. Masukkan kedalam tanur atur suhu
pada skala 30-40 selama 1 jam atau sampai asapnya habis. Pengaturan skala untuk
menguapkan senyawa organic terlebih dahulu. Naikkan skala hingga 60-80 selama 4
jam. Suhu tersebut merupakan suhu yang optimal untuk pengabuan. Ditunggu selama
24 jam. Dioven selama 15 menit untuk menghindari uap air didalam tanur.
Eksikator selama 5 menit untuk menstabilkan kelembapan dan timbang sebagai c
gram.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
sampel
|
kandungan abu
|
SD
|
ikan asin
|
22,213
|
0,564
|
susu bubuk jahe
|
0,832
|
0,099
|
ginseng sereal
|
8,866
|
12,125
|
biji kakao
|
3,418
|
0,231
|
kopi torabika
|
1,511
|
0,051
|
kopi kapal api
|
1,1
|
0,047
|
4.2 Pembahasan
Dari grafik diatas didapat kandungan
mineral dari berbagai macam bahan. Dari setiap bahan mempunyai nilai kandungan
mineral yang berbeda-beda. Bahan yang digunakan saat praktikum yaitu ikan asin,
susu bubuk jahe, ginseng, biji kakao, kopi torabika, dan kopi kapal api.
Kandungan mineral yang terdapat pada bahan ikan asin lumayan besar yaitu
sebesar 22,213%. Sedangkan menurut literatur Syarat Mutu Ikan Asin Kering
menurut (SNI 01-2721-1992) adalah 1,5%. Perbedaan antara literatur dengan hasil
data yang didapat sangat jauh hal ini mungkin disebabkan karena ikan yang
digunakan pada saat praktikum adalah ikan yang mutunya kurang bagus sehingga
kadar abunya tinggi. Semakin banyak kadarabu dalam bahan, maka mutunya semakin
jelek. Sedangkan nilai SD dari bahan ikan yaitu sebesar 0,564. Hal ini
menunjukkan bahwa data yang diperoleh saat praktikum cukup akurat. Kandungan
mineral atau kadar abu dalam susu bubuk jahe pada hasil praktikum sebesar
0,823%. Sedangkan menurut koswara (1995) kandungan mineral pada jahe segar
3,7%. Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat praktikum menggunakan jahe
bubuk, sedangkan yang diliteratiur menggunakan jahe yang segar. Nilai SD pada
susu bubuk jahe sebesar 0,099. Dari hasil SD yang didapat maka data pengamatan
yang diperoleh saat praktikum cukup akurat karena nilai SD kurang dari 1. Pada
bahan ginseng kandungan mineral atau kadar abu yang terkandung sebesar 8,866%,
menurut literatur hanya sebesar 3%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena
penggunaan bahan yang memiliki mutu dan kualitas yang berbeda. Nilai SD yang
didapat pada bahan ginseng sebesar 12,125%. Nilai SD yang didapat sangat
tinggi, hal ini berarti data yang diperoleh kurang begitu akurat. Kandungan
mineral atau kadar abu pada biji kakao sebesar 3,418%, sedangkan pada literatur
menurut Minifie, (1999) kadar abu pada biji kakao adalah 2,7%. Perbedaan kandungan
mineral atau kadar abu pada literatur denagn hasil praktikum tiodak terlalub
signifikan. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena kesalahan saat pengukuran
nilai absorban menggunkan spektrofotometer. Karena alat spektrofotometer yang
dipakai sudah kurang akurat. Nilai SD yang diperoleh sebesar 0,231%, hal ini
menunjukkan bahwa data yang diperoleh sudah cukup akurat. Kandungan mineral
atau kadar abu dalam kopi, baik kopi tora bika maupun kapal api sebesar 1,511%
, 1,1%. Sedangkan menurut SNI 01 -3542- 2004 kopi bubuk Badan Standar Nasional
kadar abu kopi bubuk yaitu Maksimal 5 %. Perbedaan kandungan menurut literatur
dengan hasil dari praktikum yaitu sebesar 4%. Perbedaan ini mungkin disebabkan
karena kopi yang digunakan saat praktikum merupakan kopi yang sudah siap saji,
sedangkan yang diliteratur masih kopi bubuk segar. Hal itu yang menyebabkan
perbedaan kandungan mineralnya. Nilai SD pada kopi torabika yaitu 0,051 dan
pada kopi kapal api yaitu sebesar 0,047. Dari nilai SD yang didapat maka data
yang dihasilkan saat praktikum sudah cukup akurat.
BAB 5.PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
a. Prinsip dari pengabuan cara kering
yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar
500–600ºC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses
pembakaran
b. Prinsip pengabuan cara basah yaitu
memberikan reagen kimia tertentu pada bahan sebelum dilakukan pengabuan
c. Ginseng
(Panax ginseng) diketahui mengandung saponin, antioksidan, peptida,
polisakarida, alkaloid, lignans, dan poliasetilen.
d. Jahe
(Zingiber officinale Roscoe) merupakan salah satu tanaman temu-temuan
yang tergolong tanaman apotek hidup.
e. Ikan
asin adalah ikan yang sudah melalui proses penggaraman dan pengeringan, sebagai
bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino
essensial, ikan asin sangat diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai
biologisnya mencapai 90 persen, dengan jaringan pengikat sedikit sehigga mudah
dicerna
5.2 Saran
- Pada saat menjelaskan teori lebih jelas agar praktikan lebih paham
- Selesai meggunakan alat laboratorium, segera dicuci dan kembalaik ke tempat semula.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, Anton, dkk. 1989. Analisis Pangan. Bogor : PAU Pangan dan
Gizi IPB.
Ariviani, S. 1999. Daya Tangkal Radikal dan Aktivitas
Penghambatan Pembentukan. Jakarta: Liberti
Ciptadi, W. dan
Nasution, M.Z. 1985. Pengolahan Kopi.
Fakultas Teknologi Institut Pertanian Bogor
Irfan, Muh. Fakhrudin. 2008. Kajian Karakteristik Oleoresin Jahe
Berdasarkan Ukuran dan Lama Perendaman Serbuk Jahe dalam Etanol. Skripsi
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Surakarta.
Jo, J.S, Han, Y.N.,Oh, H.I., Park,
H., Sung, H.S. and Park, J.I, 1995, Korean
ginseng has a characteristic shape. In understanding of Korean ginseng, Hanrimwon
Publishing Co, Seoul, Korea.
Najiyati S, Danarti. 2006. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pasca Panen.
Jakarta: Penebar Swadaya
Poedjiwidodo, Y.
1996. Sambung Samping Kakao. Trubus
Agriwidya. Ungaran
Retnandari, N. D., dan Tjokrowinoto,
M. 1991. Kopi Kajian Sosial Ekonomi.
Yogyakarta: Aditya Medya.
Rukmana,
R., 2004. Temu-temuan (Apotik Hidup di
Pekarangan). Kanisius.
Spillane, J. 1995. Komoditi Kakao, Peranan Dalam Perekonomian
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Sudarmadji S, Suhardi. 1996. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta: Liberty.
Susanto, T. dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian.
Surabaya: Bina Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar