Jumat, 25 Oktober 2013

Laporan Analisa Kadar Abu





ANALISA MUTU PANGAN DAN HASIL PERTANIAN




  




NAMA                          : NURUS ZAHRO
NIM                               : 121710101044
KELAS                          : THP-A
KELOMPOK/SHIFT    : 1 (Satu)/1
ACARA                         : Analisa Kadar Abu
TGL LAPORAN           : 25 Oktober 2013



FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013



 


BAB 1.PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur – unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukkan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan – bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu.
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan , mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan.Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka bubuk cokelat tersebut kurang bersih dalam pengolahannya, yaitu pada saat pemisahan biji dari kulit ari ada sebahagian kulit yang ikut menjadi bubuk cokelat.
Terdapat dua metode pengabuan antara lain metode pengabuan kering dan metode pengabuan basah. Namun pada praktikum hanya dilakukan metode pengabuan kering. Metode pengabuan kering bekerja dengan cara mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi.
1.2  Tujuan
a.       Untuk mengetahui cara analisis kadar abu bahan pangan dan hasil pertanian.
b.      Untuk mengukur kadar abu bahan pangan dan hasil pertanian dengan metode pengabuan kering.




BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metode Pengabuan
2.1.1 Metode Pengabuan Kering
Prinsip dari pengabuan cara kering yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500–600ºC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996).  Mekanisme pengabuan pada percobaan ini adalah pertama-tama krus porselin dioven selama 1 jam. Krus porselin adalah tempat atau wadah yang digunakan dalam pengabuan, karena penggunaannya luas dan dapat mencapai berat konstan maka dilakukan pengovenan. Kemudian didinginkan selama 30 menit, setelah itu dimasukkan eksikator. Lalu timbang krus sebagai berat a gram. Setelah itu masukkan bahan sebanyak 3 gram kedalam krus dan catat sebagai berat b gram. Pengabuan di anggap selesai apabila di peroleh pengabuan yang umumnya berwarna putih abu-abu (Tamiang, 2011).
Pengabuan yang dilakukan didalam muffle dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
a.       Pemanasan pada suhu 300ºC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi
kandungan bahan yang bersifat volatile dan bahan berlemak hingga kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
b.   Pemanasan pada suhu 800ºC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan maupun porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah pecah pada perubahan suhu yang tiba-tiba.  Setelah pengabuan selesai maka dibiarkan dalam tanur selama 1 hari. Sebelum dilakukan penimbangan, krus porselin dioven terlebih dahulu dengan tujuan mengeringkan air yang mungkin terserap oleh abu selama didinginkan dalam muffle dimana pada bagian atas muffle berlubang sehingga memungkinkan air masuk, kemudian krus dimasukkan dalam eksikator yang telah dilengkapi zat penyerap air berupa silica gel. Setelah itu dilakukan penimbangan dan catat sebagai bera c gram. Beberapa kelemahan maupun kelebihan yang terdapat pada pengabuan dengan cara lansung. Beberapa kelebihan dari cara langsung, antara lain:
a.   Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil pertanian, serta digunakan untuk sampel yang relatif banyak,
b.     Digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang tidak larut dalam asam, dan
c.   Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan resiko akibat penggunaan reagen yang berbahaya.
Sedangkan kelemahan dari cara langsung, antara lain :
a.   Membutuhkan waktu yang lebih lama,
b.   Tanpa penambahan regensia,
c.   Memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan
d.   Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi (Apriantono, 1989).
2.1.2 Metode Pengabuan Basah
Prinsip pengabuan cara basah yaitu memberikan reagen kimia tertentu pada bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alkohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu tunggi. Proses pemanasan mengakibatkan gliserol alkohol membentuk kerak sehingga menyebabkan percepatan oksidasi. Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas, sehingga mempercepat proses pengabuan. Mekanisme pengabuannya adalah pertama-tama krus porselin dioven selama 1 jam. Kemudian didinginkan selama 30 menit, setelah itu dimasukkan ke dalam eksikator (Sudarmadji, 1996). Lalu timbang krus sebagai berat a gram. Setelah itu masukkan bahan sebanyak 3 gram kedalam krus dan catat sebagai berat b gram. Kemudian ditambahkan gliserol alkohol 5 ml dan dimasukkan dalam tanur pengabuan sampai warna menjadi putih keabu-abuan. Setelah terjadi pengabuan, abu yang terbentuk dibiarkan dalam muffle selama 1 hari. Sebelum dilakukan penimbangan, krus porselin dioven terlebih dahulu dengan tujuan mengeringkan air yang mungkin terserap oleh abu selama didinginkan dalam muffle dimana pada bagian atas muffle berlubang sehingga memungkinkan air masuk, kemudian krus dimasukkan dalam eksikator yang telah dilengkapi zat penyerap air berupa silica gel. Setelah itu dilakukan penimbangan dan catat sebagai berat c gram. Suhu yang tinggi menyebabkan elemen abu yang bersifat volatile seperti Na, S, Cl, K dan P menguap. Pengabuan juga menyebabkan dekomposisi tertentu seperi K2CO3 dan CaCO3. pengeringan pada metode ini bertujuan untuk mendapatkan berat konstan. Sebelum sampel dimasukkan dalam krus, bagian dalam krus dilapisi silica gel agar tidak terjadi pengikisan bagian dalam krus oleh zat asam yang terkandung dalam sampel dan utnuk menyerap air yang kemungkinan ada pada kurs.

Kelebihan dari cara tidak langsung, meliputi :
a.   Waktu yang diperlukan relatif singkat,
b.   Suhu yang digunakan relatif rendah,
c.   Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relatif rendah, 
d.   Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat pengabuan
e.   Penetuan kadar abu lebih baik
Sedangkan kelemahan yang terdapat pada cara tidak langsung, meliputi :
a.   Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam beracun,
b.    Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya, dan
c.   Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan.

2.2 Penjelasan Bahan Baku
2.2.1 Gingseng Sereal
Ginseng (Panax ginseng) diketahui mengandung saponin, antioksidan, peptida, polisakarida, alkaloid, lignans, dan poliasetilen. Saponin dikenal sebagai ginsenosides yaitu komposisi utama bioaktif (Jo et al., 1995; Sticher, 1998; 2 Palazon et al., 2003).
Nilai gizi pada gingseng sereal adalah sebagai berikut :
Nilai gizi rata-rata

Per 100 g
Per porsi*
energi
kal
425
148
Protein
g
6
2,1
Lemak
g
10
3,5
Serat kasar
g
4
1,4
mineral
g
3
1,1
*1 sachet : 35 g + 150 cc air panas



2.2.2 Kakao
Kakao (Theobroma cacao) adalah nama biologi yang diberikan pada pohon kakao oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan teduh. Dalam kondisi seperti ini Theobroma cacao jarang berbuah dan hanya sedikit menghasilkan biji (Spillane, 1995).
Berdasarkan daerah asalnya kakao tumbuh dibawah naungan pohon-pohon yang tinggi. Habitat seperti itu masih dipertahankan dalam budi daya kakao dengan menanam pohon pelindung. Kakao mutlak membutuhkan naungan sejak tanam sampai umur 2 - 3 tahun. Tanaman muda yang kurang naungan pertumbuhannya akan terlambat. Tanaman ini juga tidak tahan angin kencang sehingga tanaman pelindung (penaung) dapat berfungsi sebagai penahan angin (Poedjiwidodo, 1996). Penaung kakao sangat diperlukan dalam mengatur intensitas penyinaran sinar matahari, tinggi suhu, kelembaban udara, menahan angin, menambah unsur hara dan organik, menekan tumbuhan gulma, dan memperbaiki struktur tanah. Intensitas sinar matahari untuk tanaman muda yang berumur 12 - 18 bulan sekitar 30 – 60 %. Sedangkan untuk tanaman yang sudah produktif, intensitas penyinaran adalah 50 – 75 % (Susanto, 1994)

2.2.3 Susu jahe
Jahe (Zingiber officinale Roscoe) merupakan salah satu tanaman temu-temuan yang tergolong tanaman apotek hidup. Jahe dipercaya secara tradisional dapat menghilangkan masuk angin, mengurangi atau  mencegah influenza, rematik dan batuk serta mengurangi rasa sakit dan bengkak Rukmana (2004).
Menurut Ariviani (1999), jahe memiliki berbagai kandungan zat yang diperlukan oleh tubuh manusia, ada beberapa kandungan zat yang terdapat pada jahe yaitu minyak atsiri (0,5 - 5,6%), zingiberon, zingiberin, zingibetol, barneol, kamfer, folandren, sineol, gingerin, vitamin (A, B1, dan C), karbohidrat (20 – 60%) damar (resin) dan asam – asam organik (malat, oksalat), untuk jahe selain sebagai antimikroba, jahe juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan.
Dari hal diatas yang letar belakangi pembuatan susu bubuk jahe penambahan susu dengan penambahan ekstrak jahe tidak hanya menambah citarasa dan aroma, tetapi dapat meningkatkan kandungan antioksidan pada susu. Namun perlu diperhatikan banyaknya penambahan ekstrak jahe pada susu ,dikarenakan jahe memiliki rasa pedas yang kuat, sehingga dapat mempengaruhi aroma serta cita rasa dari susu itu sendiri (Uhl, 2000 dalam Irfan,2008)
2.2.4 Ikan Asin
Ikan asin adalah ikan yang sudah melalui proses penggaraman dan pengeringan, sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial, ikan asin sangat diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90 persen, dengan jaringan pengikat sedikit sehigga mudah dicerna (Adawyah, Rabiatul, 2007).
2.2.5 Kopi
Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), buah kopi umumnya mengandung 2 butir biji, tetapi kadang-kadang hanya mengandung satu butir saja. Biji kopi ini disebut biji kopi lanang/kopi jantan/kopi bulat. Buah kopi yang sudah masak pada umumnya akan berwarna kuning kemerahan sampai merah tua. Tetapi ada juga yang belum cukup tua tetapi telah terlihat berwarna kuning kemerahan pucat yaitu kopi yang terserang hama bubuk buah kopi. Buah kopi yang terserang hama bubuk ini mengering di tangkai atau luruh ke tanah. Buah kopi yang kering tersebut dipetik dan yang luruh di tanah dipungut secara terpisah dari buah masak  yang dinamakan pungutan ”lelesan”. Pada akhir masa panen dikenal rampasan atau racutan yaitu memetik semua buah yang tertinggal di pohon sampai habis, termasuk yang masih muda. Petikan rampasan ini dimaksudkan guna memutus siklus hidup hama bubuk buah. Pemetikan buah kopi dilakukan secara manual (Ciptadi dan Nasution1985; Najiyati dan Danarti 2006).
Di dunia perdagangan dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta, dan Liberika. Kopi Robusta bukan nama spesies karena kopi ini merupakan keturunan dari beberapa spesies kopi terutama Coffea canephora. Kopi Robusta berasal  dari hutan-hutan khatulistiwa di Afrika, yang membentang dari Uganda hingga Sudan Selatan, bahkan sampai Abyssinia Barat sepanjang curah hujan mencukupi. Kopi ini masuk ke Indonesia pada tahun 1900 dan saat ini termasuk jenis yang mendominasi perkebunan kopi di Indonesia (Retnandari dan Tjokrowinoto, 1991)
Kopi bubuk adalah biji kopi yang telah disangrai kemudian digiling, dengan atau tanpa penambahan bahan lain dalam kadar tertentu yang tidak membahayakan kesehatan(SNI 01 – 3542 – 2004). Pada pembuatan kopi digunakan dua cara yaitu tahap perendangan (penyaringan) dan tahap penggilingan. Pada proses perendangan atau penyangraian adalah proses pemanasan kopi beras pada suhu 200-225oC, dengan tujuan untuk mendapatkan kopi rendang yang berwarna cokelat kayu manis kehitaman.sedangakan untuk penggilingan adalah proses pemecahan butir-butir kopi yang telah direndang untuk mendapatkan kopi bubuk (Najiati et al.2006).

2.3 Prinsip Analisa Pengabuan Kering
Prinsip dari pengabuan cara kering yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500–600ºC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996).  Mekanisme pengabuan pada percobaan ini adalah pertama-tama krus porselin dioven selama 1 jam. Krus porselin adalah tempat atau wadah yang digunakan dalam pengabuan, karena penggunaannya luas dan dapat mencapai berat konstan maka dilakukan pengovenan. Kemudian didinginkan selama 30 menit, setelah itu dimasukkan eksikator. Lalu timbang krus sebagai berat a gram. Setelah itu masukkan bahan sebanyak 3 gram kedalam krus dan catat sebagai berat b gram. Pengabuan di anggap selesai apabila di peroleh pengabuan yang umumnya berwarna putih abu-abu (Tamiang, 2011).

2.4 Pengabuan Penting Bagi Sebagian Produk Makanan
Penentuan kadar abu total untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, mengetahui pemalsuan produk pangan, mengetahui kontaminasi mineral yg bersifat toksik, sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan dan untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan sebagai parameter nilai bahan makanan.


BAB 3. METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
a.       Tanur pengabuan / muffle
b.      Eksikator
c.       Kurs porselin
d.      Neraca analitis
e.       Penjepit kurs
f.       Oven
g.      Spatula
3.1.2 Bahan
a.       Kopi Torabika
b.      Kopi jahe
c.       Kopi kapal api
d.      Sereal jahe Nescafe
e.       Kakao
f.       Ikan asin

3.2 Prosedur Analisa
Pertama kurs porselin dioven 15 menit gunanya untuk mendapatkan kurs porselin dengan berat konstan. Eksikaor 5 menit untuk menstabilkan kelembapan dan timbang sebagai a gram. Tambahkan bahan sebanyak 3-10 gram dan timbang sebagai b gram. Masukkan kedalam tanur atur suhu pada skala 30-40 selama 1 jam atau sampai asapnya habis. Pengaturan skala untuk menguapkan senyawa organic terlebih dahulu. Naikkan skala hingga 60-80 selama 4 jam. Suhu tersebut merupakan suhu yang optimal untuk pengabuan. Ditunggu selama 24 jam. Dioven selama 15 menit untuk menghindari uap air didalam tanur. Eksikator selama 5 menit untuk menstabilkan kelembapan dan timbang sebagai c gram.


BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
sampel
kandungan abu
SD
ikan asin
22,213
0,564
susu bubuk jahe
0,832
0,099
ginseng sereal
8,866
12,125
biji kakao
3,418
0,231
kopi torabika
1,511
0,051
kopi kapal api
1,1
0,047

4.2 Pembahasan
Dari grafik diatas didapat kandungan mineral dari berbagai macam bahan. Dari setiap bahan mempunyai nilai kandungan mineral yang berbeda-beda. Bahan yang digunakan saat praktikum yaitu ikan asin, susu bubuk jahe, ginseng, biji kakao, kopi torabika, dan kopi kapal api. Kandungan mineral yang terdapat pada bahan ikan asin lumayan besar yaitu sebesar 22,213%. Sedangkan menurut literatur Syarat Mutu Ikan Asin Kering menurut (SNI 01-2721-1992) adalah 1,5%. Perbedaan antara literatur dengan hasil data yang didapat sangat jauh hal ini mungkin disebabkan karena ikan yang digunakan pada saat praktikum adalah ikan yang mutunya kurang bagus sehingga kadar abunya tinggi. Semakin banyak kadarabu dalam bahan, maka mutunya semakin jelek. Sedangkan nilai SD dari bahan ikan yaitu sebesar 0,564. Hal ini menunjukkan bahwa data yang diperoleh saat praktikum cukup akurat. Kandungan mineral atau kadar abu dalam susu bubuk jahe pada hasil praktikum sebesar 0,823%. Sedangkan menurut koswara (1995) kandungan mineral pada jahe segar 3,7%. Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat praktikum menggunakan jahe bubuk, sedangkan yang diliteratiur menggunakan jahe yang segar. Nilai SD pada susu bubuk jahe sebesar 0,099. Dari hasil SD yang didapat maka data pengamatan yang diperoleh saat praktikum cukup akurat karena nilai SD kurang dari 1. Pada bahan ginseng kandungan mineral atau kadar abu yang terkandung sebesar 8,866%, menurut literatur hanya sebesar 3%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena penggunaan bahan yang memiliki mutu dan kualitas yang berbeda. Nilai SD yang didapat pada bahan ginseng sebesar 12,125%. Nilai SD yang didapat sangat tinggi, hal ini berarti data yang diperoleh kurang begitu akurat. Kandungan mineral atau kadar abu pada biji kakao sebesar 3,418%, sedangkan pada literatur menurut Minifie, (1999) kadar abu pada biji kakao adalah 2,7%. Perbedaan kandungan mineral atau kadar abu pada literatur denagn hasil praktikum tiodak terlalub signifikan. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena kesalahan saat pengukuran nilai absorban menggunkan spektrofotometer. Karena alat spektrofotometer yang dipakai sudah kurang akurat. Nilai SD yang diperoleh sebesar 0,231%, hal ini menunjukkan bahwa data yang diperoleh sudah cukup akurat. Kandungan mineral atau kadar abu dalam kopi, baik kopi tora bika maupun kapal api sebesar 1,511% , 1,1%. Sedangkan menurut SNI 01 -3542- 2004 kopi bubuk Badan Standar Nasional kadar abu kopi bubuk yaitu Maksimal 5 %. Perbedaan kandungan menurut literatur dengan hasil dari praktikum yaitu sebesar 4%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena kopi yang digunakan saat praktikum merupakan kopi yang sudah siap saji, sedangkan yang diliteratur masih kopi bubuk segar. Hal itu yang menyebabkan perbedaan kandungan mineralnya. Nilai SD pada kopi torabika yaitu 0,051 dan pada kopi kapal api yaitu sebesar 0,047. Dari nilai SD yang didapat maka data yang dihasilkan saat praktikum sudah cukup akurat.






BAB 5.PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa :
a.       Prinsip dari pengabuan cara kering yaitu dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500–600ºC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran
b.      Prinsip pengabuan cara basah yaitu memberikan reagen kimia tertentu pada bahan sebelum dilakukan pengabuan
c.       Ginseng (Panax ginseng) diketahui mengandung saponin, antioksidan, peptida, polisakarida, alkaloid, lignans, dan poliasetilen.
d.      Jahe (Zingiber officinale Roscoe) merupakan salah satu tanaman temu-temuan yang tergolong tanaman apotek hidup.
e.      Ikan asin adalah ikan yang sudah melalui proses penggaraman dan pengeringan, sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial, ikan asin sangat diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90 persen, dengan jaringan pengikat sedikit sehigga mudah dicerna
5.2 Saran
  1. Pada saat menjelaskan teori lebih jelas agar praktikan lebih paham
  2. Selesai meggunakan alat laboratorium, segera dicuci dan kembalaik ke tempat semula.


DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, Anton, dkk. 1989. Analisis Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB.
Ariviani, S. 1999. Daya Tangkal Radikal dan Aktivitas Penghambatan Pembentukan. Jakarta: Liberti
Ciptadi, W. dan Nasution, M.Z. 1985. Pengolahan Kopi. Fakultas Teknologi Institut Pertanian Bogor
Irfan, Muh. Fakhrudin. 2008. Kajian Karakteristik Oleoresin Jahe Berdasarkan Ukuran dan Lama Perendaman Serbuk Jahe dalam Etanol. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Surakarta.
Jo, J.S, Han, Y.N.,Oh, H.I., Park, H., Sung, H.S. and Park, J.I, 1995, Korean ginseng has a characteristic shape. In understanding of Korean ginseng, Hanrimwon Publishing Co, Seoul, Korea.
Najiyati S, Danarti. 2006. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pasca Panen. Jakarta:  Penebar Swadaya
Poedjiwidodo, Y. 1996. Sambung Samping Kakao. Trubus Agriwidya. Ungaran
Retnandari, N. D., dan Tjokrowinoto, M. 1991. Kopi Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Medya.
Rukmana, R., 2004. Temu-temuan (Apotik Hidup di Pekarangan). Kanisius.
Spillane, J. 1995. Komoditi Kakao, Peranan Dalam Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Sudarmadji S, Suhardi. 1996. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Susanto, T. dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Surabaya: Bina Ilmu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar