ANALISA
MUTU PANGAN DAN HASIL PERTANIAN
NAMA : NURUS ZAHRO
NIM : 121710101044
KELAS :
THP-A
KELOMPOK/SHIFT : 1 (Satu)/1
TGL LAPORAN :
25 Oktober 2013
FAKULTAS
TEKNOLOGI PERTANIAN
JURUSAN
TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2013
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kadar
air dalam bahan makanan sangat mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari
pangan tersebut. Oleh karena itu, penentuan kadar air dari suatu bahan pangan
sangat penting agar dalam proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat
penanganan yang tepat. Kandungan air bahan pangan bervariasi. Ada yang sangat
rendah contohnya serealia, kacang-kacangan kering. Ada yang sangat tinggi
contohnya sayuran, buah-buahan atau pangan segar. Sebagai contoh kadar air
kacang kering 3% sedangkan semangka 97%.
Kriteria
ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan dapat ditinjau dari kadar air,
konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif berimbang dan
aktivitas air. Keberadaan air dalam bahan pangan selalu dihubungkan dengan mutu
bahan pangan dan sebagai pengukur bagian bahan kering atau padatan. Air dalam
bahan dapat digunakan sebagai indeks kestabilan selama penyimpanan serta
penentu mutu organoleptik terutama rasa dan keempukan. Kandungan air dalam
bahan pangan akan berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya, dan hal ini sangat
erat hubungannya dengan daya awet bahan pangan
tersebut. Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam pengolahan dan
pengelolaan pasca olah bahan pangan
(Purnomo,1995).
Analisa
kadar air dalam bahan pangan penting untuk bahan pangan segar dan olahan.
Analisa sering menjadi tidak sederhana karena air dalam bahan pangan berada
dalam bentuk terikat secara fisik atau kimia dengan komponen bahan pangan
lainnya sehingga sulit memecahkan ikatan-ikatan air tersebut. Pentuan kadar
air dalam makanan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode
pengeringan (dengan oven biasa), metode destilasi, metode kimia, dan metode
khusus. Namun, pada praktikum hanya dilakukan metode pengeringan dengan oven.
1.2
Tujuan
a. Untuk
mengetahui cara pengukuran kadar air bahan pangan dan hasil pertanian,
b. Untuk
mengetahui preparasi bahan dan cara penyimpanan sampel selama menunggu bahan
untuk ditimbang,
c. Untuk
mengetahui cara pengukuran yang sesuai dengan macam bahan hasil pertanian,
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Macam-Macam Metode Analisa Kadar Air
2.1.1 Metode
gravimetri (pengeringan dengan oven)
Metode oven biasa merupakan salah satu metode pemanasan langsung dalam
penetapan kadar air suatu bahan pangan. Dalam metode ini bahan dipanaskan pada
suhu tertentu sehingga semua air menguap yang ditunjukkan oleh berat konstan
bahan setelah periode pemanasan tertentu. Kehilangan berat bahan yang terjadi
menunjukkan jumlah air yang terkandung. Metode ini terutama digunakan untuk
bahan-bahan yang stabil terhadap pemanasan yang agak tinggi, serta produk yang
tidak atau rendah kandungan sukrosa dan glukosanya seperti tepung-tepungan dan
serealia (AOAC, 1984).
Metode ini dilakukan dengan cara pengeringan bahan pangan dalam oven.
Berat sampel yang dihitung setelah dikeluarkan dari oven harus didapatkan berat
konstan, yaitu berat bahan yang tidak akan berkurang atau tetap setelah
dimasukkan dalam oven. Berat sampel setelah konstan dapat diartikan bahwa air
yang terdapat dalam sampel telah menguap dan yang tersisa hanya padatan dan air
yang benar-benar terikat kuat dalam sampel. Setelah itu dapat dilakukan
perhitungan untuk mengetahui persen kadar air dalam bahan (Crampton, 1959).
Secara teknik, metode oven langsung dibagi menjadi dua yaitu, metode oven
temperatur rendah dan metode oven temperatur tinggi. Metode oven temperatur
rendah menggunakan suhu (103 + 2)˚C dengan periode pengeringan selama 17 ± 1
jam. Periode pengeringan dimulai pada saat oven menunjukkan temperatur yang
diinginkan. Setelah pengeringan, contoh bahan beserta cawannya disimpan dalam
desikator selama 30-45 menit untuk menyesuaikan suhu media yang digunakan
dengan suhu lingkungan disekitarnya. Setelah itu bahan ditimbang beserta
wadahnya. Selama penimbangan, kelembaban dalam ruang laboratorium harus kurang
dari 70% (AOAC, 1970). Selanjutnya metode oven temperatur tinggi. Cara kerja
metode ini sama dengan metode temperatur rendah, hanya saja temperatur yang
digunakan pada suhu 130-133˚C dan waktu yang digunakan relatif lebih rendah
(Crampton, 1959).
Metode ini memiliki beberapa kelemahan,
yaitu ; a) Bahan lain disamping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama
dengan uap air misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain ; b)
Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah
menguap. Contoh gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami
oksidasi ; c) Bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya
meskipun sudah dipanaskan (Soedarmadji 2003).
2.1.2 Metode Destilasi
Penentuan kadar air dari bahan-bahan yang
kadar airnya tinggi dan mengandung senyawa-senyawa yang mudah menguap (
volatile ) seperti sayuran dan susu, menggunakan cara destilasi dengan pelarut
tertentu, misalnya toluen, xilol, dan heptana yang berat jenisnya lebih rendah
daripada air
Cara penentuannya adalah dengan
memberikan zat kimia sebanyak 75-100 ml pada sampel yang diberikan mengandung
air sebanyak 2-5 ml kemudian dipanaskan sampai mendidih. Uap air dan zat kimia
tersebut diembunkan dan ditampung dalam tabung penampung. Karena berat jenis
air lebih besar daripada zat kimia tersebut maka air akan berada dibagian bawah
pada tabung penampung. Bila pada tabung penampung dilengkapi skala maka
banyaknya dapat diketahui. Cara destilasi ini baik untuk menentukan kadar air
dalam zat yang kandungan airnya kecil yang sulit ditentukan dengan cara
gravimetri. Penetuan kadar air ini hanya memerlukan waktu ± 1 jam (Sudarmadji, 2003).
2.1.3 Metode Kimiawi
Ada
beberapa cara penentuan kadar air dalam bahan secara kimiawi yaitu antara lain
:
a. Cara
Titrasi Karl Fischer
Karl
fischer pada tahun 1935 mengunakan cara pengeringan berdasarkan reaksi kimia
air dengan titrasi langsung dari bahan basah dengan larutan iodin, sulfur
dioksida, dan piridina dalam metanol. Perubahan warna menunjukan titik akhir
titrasi (Winarno ,1992 ). Prinsip metode ini adalah melakukan titrasi sampel
dengan larutan iodin dalam methanol dan piridin. Jika masih ada air dalam bahan
maka iodine akan bereaksi, tetapi bila air habis maka iodine akan bebas.
Untuk
zat-zat yang melepaskan air secara perlahan-lahan, maka pada umumnya dilakukan
titrasi tidak langsung. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi maka penetapan
kadar air dilakukan dengan titrasi langsung (MMI, 1989).
b. Cara
Kalsium Karbid
Cara
ini berdasarkan reaksi antara kalsium karbid dan air menghasilkan gas asetilin.
Cara ini sangat cepat dan tidak memerlukan alat yang rumit. Jumlah asetilin
yang terbentuk dapat diukur dengan berbagai cara (Sudarmadji,2003).
c. Cara
Asetil Khlorida
Penentuan
kadar air cara ini berdasarkan reaksi asetil khlorida dan air menghasilkan asam
yang dapat dititrasi menggunakan basa. Asetil khlorida yang digunakan
dilarutkan dalam toluol dan bahan didispersikan dalam piridin.
2.1.4 Metode
Fisis
Ada beberapa cara
penentuan kadar air cara secara fisis ini antara lain :
-
Berdasarkan tetapan dieletrikum
-
Berdasarkan konduktivitas listrik
(daya hantar listrik) atau resistensi Berdasarkan resonansi nuklir magnetic
(NMR = Nuclear Magneti resonance). (Sudarmadji,2003).
2.2 Penjelasan Bahan
Baku
2.2.1 Kentang
Kentang merupakan tanaman herba dikotil dan bersifat semusim atau annual
(Nonnecke 1989). Tanaman kentang termasuk dalam famili Solanaceae dengan genus
Solanum dan spesies Solanum tuberosumL. Tanaman kentang berasal dari benua
Amerika Selatan. Beberapa spesies kentang liar terdapat di wilayah pegunungan
Andes mulai dari Kolombia sampai Chilli, tanaman ini menyebar ke seluruh dunia
melalui Eropa dan menjadi salah satu bahan pangan penting dunia (Smith 1986).
Zat gizi yang terdapat dalam kentang antara lain karbohidrat, mineral
(besi, fosfor, magnesium, natrium, kalsium, dan kalium), protein, serta vitamin
terutama vitamin C dan B1. Selain itu, kentang juga mengandung lemak dalam
jumlah yang relatif kecil, yaitu 1.0 – 1.5%. Komposisi kimia kentang sangat
bervariasi tergantung varietas, tipe tanah, cara budidaya, cara pemanenan,
tingkat kemas akan dan kondisi penyimpanan. Kandungan zat gizi dalam 100 g
kentang disajikan dalam Tabel 1.
Tabel
1. Komposisi Kimia Kentang Tiap 100 g
Komponen
|
Jumlah
|
Protein
(g)
Lemak (g)
Karbohidrat
(g)
Kalsium
(mg)
Fosfor
(mg)
Serat (g)
Zat besi
(mg)
Vitamin B1
(mg)
Vitamin B2
(mg)
Vitamin C
(mg)
Niasin
(mg)
Energi
(kal)
|
2,00
0,10
19,10
11,00
56,00
0,30
0,70
0,09
0,03
16,00
1,40
83,00
|
2.2.2 Talas
Talas merupakan tanaman sekulen yaitu tanaman yang umbinya banyak
mengandung air (Rukmana, 1998). Umbi
tersebut terdiri dari umbi primer dan umbi sekunder. Kedua umbi tersebut berada
di bawah permukaan tanah. Hal yang membedakannya adalah umbi primer merupakan
umbi induk yang memiliki bentuk silinder dengan panjang 30 cm dan diameter 15
cm, sedangkan umbi sekunder merupakan umbi yang tumbuh di sekeliling umbi
primer dengan ukuran yang lebih kecil.Umbi sekunder ini digunakan oleh talas
untuk melakukan perkembangbiakannya secara vegetatif (Lingga et al., 1989).
Umbi talas merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang cukup baik.
Komponen makronutrien dan mikronutrien yang terkandung di dalam umbi talas
meliputi protein, karbohidrat, lemak, serat kasar, fosfor, kalsium, besi,
tiamin, riboflavin, niasin, dan vitamin C (Catherwood et al., 2007; Huang et
al., 2007; Sefa-Dedeh dan Agyr-Sackey, 2004; Perez et al., 2007). Komposisi
kimia tersebut bervariasi tergantung pada beberapa faktor, seperti jenis
varietas, usia, dan tingkat kematangan dari umbi. Muchtadi dan Sugiyono (1992)
menambahkan bahwa faktor iklim dan kesuburan tanah juga turut berperan terhadap
perbedaan komposisi kimia dari umbi
talas. Nilai lebih dari umbi talas adalah kemudahan patinya untuk dicerna. Hal
ini disebabkan oleh ukuran granula patinya yang cukup kecildan patinya
mengandung amilosa dalam jumlah yang cukup banyak (20-25%). Selain itu, talas
juga bebas dari gluten, maka pangan olahan dari talas dapat digunakan untuk
diet individu yang memiliki alergi terhadap gluten. Untuk lebih jelasnya
mengenai kadar beberapa komponen makronutrien dan mikronutrien dari talas,
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi Dari umbi
talas
Komponen
|
Kandungan
|
Air
Karbohidrat
Protein
Lemak
Serat kasar
Fosfor
Kalsium
Besi
Vitamin C
Tiamin
Riboflavin
Niasin
|
63-85%
13-29 %
1,4-3,0 %
0,16-0,36%
0,60-1,18%
61,0 mg/100 g
28,00 mg/100 g
1,00 mg/100 g
7-9 mg/100 g
0,18 mg/100 g
0,04 mg/100 g
0,9 mg/100 g
|
Onwueme
(1994) dan Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI (1972)
2.2.3
Singkong
Ketela pohon atau ubi kayu merupakan
tanaman perdu. Ketela pohon berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil.
Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India,
dan Tiongkok. Tanaman ini masuk ke Indonesia pada tahun 1852. Ketela pohon
berkembang di negara-negara yang terkenal dengan wilayah pertaniannya (Purwono,
2009).
Ubi kayu
(Manihot utilissima) menghasilkan umbi setelah tanaman berumur 6 bulan. Setelah
tanaman berumur 12 bulan dapat menghasilkan umbi basah sampai 30 ton/ha.
Kerusakan yang biasa timbul pada ubi kayu adalah warna hitam yang disebabkan
oleh aktivitas enzim polyphenolase atau biasa disebut dengan kepoyoan (Syarief
dan Irawati, 1988). Adapun komposisi kimia ubi kayu atau singkong dapat dilihat
dari tabel berikut ini.
Tabel
3. Daftar Komposisi Kimia Ubi Kayu (Singkong)/ 100 gr bahan
Komponen
|
Komposisi
|
Kalori
(kal)
Protein
(gr)
Lemak (gr)
Karbohidrat
(gr)
Kalsium
(mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A
(S.I)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C
(mg)
Air (gr)
BDD (%)
|
146
1,2
0,3
34,7
33
40
0,7
0
0,06
30
62,5
75
|
Sumber
: Departemen Kesehatan R.I, (1992).
2.2.4
Ubi Jalar
Ubi jalar adalah tanaman yang tumbuh
baik di daerah beriklim panas dan lembab, dengan suhu optimum 27°C dan lama
penyinaran 11-12 jam per hari. Tanaman ini dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000
meter dari permukaan laut. Ubi jalar tidak membutuhkan tanah subur untuk media
tumbuhnya. Di Jepang, ubi jalar adalah salah satu sumber karbohidrat yang cukup
populer. Beberapa varietas ubi di Jepang cukup dikenal hingga ke Indonesia.
Selanjutnya beberapa varietas
yang diusahakan tersebar secara luas di Indonesia,
diantaranya varietas ibaraki,
beniazuma, dan naruto. Ubi jalar merupakan komoditas
sumber karbohidrat utama setelah padi, jagung dan ubi kayu, serta mempunyai
peranan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri maupun pakan
ternak. Ubi jalar dikonsumsi sebagai makanan tambahan atau sampingan, kecuali
di Irian Jaya dan Maluku, ubi jalar digunakan sebagai makanan pokok. Ubi jalar
dikawasan dataran tinggi Jayawijaya merupakan sumber utama karbohidrat dan
memenuhi hampir 90 % kebutuhan kalori penduduk (Wanamarta, 1981).
Tabel
4. Komposisi ubu jalar segar per 100 g
Komponen
|
Jumlah
|
Kadar air (%)
|
72,84
|
Pati (%)
|
24,28
|
Protein (%)
|
1,65
|
Gula pereduksi (%)
|
0,85
|
Mineral (%)
|
0,95
|
Lemak (%)
|
0,7
|
Asam askorbat (mg/100g)
|
22,7
|
K (mg/100g)
|
204
|
S (mg/100g)
|
28
|
Ca (mg/100g)
|
22
|
Mg (mg/100g)
|
10
|
Na (mg/100g)
|
13
|
Fe (mg/100g)
|
0,59
|
Mn (mg/100g)
|
0,355
|
Vitamin (IU/100g)
|
20063
|
Energi (kJ/100g)
|
441
|
Sumber : Kotecha dan Kadam (1998)
2.2.5 Ubi Ungu
Ubi
ungu merupakan jenis ubi jalar ungu yang ditanam di Jepang dan memiliki
kandungan antosianin yang tinggi (Yamakawa et al. 1998).Pigmen
antosianin yang terkandung dalam ubi ungu didominasi oleh sianidin dan peonidin
dalam bentuk mono- atau diasilasinya (Kano et al. 2005).Ubi ungu
mengandung vitamin (A, B, C, dan E), mineral (kalsium, kalium, magnesium,
tembaga, dan seng), serat pangan, serta karbohidrat bukan serat (Suda et al.
2003). Total kandungan antosianin ubi ungu bervariasi pada setiap tanaman,
yaitu berkisar antara 20 mg/100 g sampai 924 mg/100 g berat basah (Widjanarko,
2008).
Ubi
ungu dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami karena sifat antosianinnya lebih
stabil dengan kandungan yang lebih tinggi.Ubi ungu juga memiliki efek
fungsional bagi tubuh, yaitu sebagai antioksidan, antikanker, antibakteri,
perlindungan terhadap kerusakan hati, pencegah penyakit jantung dan stroke.Ubi ungu dapat berfungsi
sebagai antikanker karena mengandung zat aktif berupa selenium dan iodin yang
jumlahnya dua puluh kali lebih tinggi dari ubi jalar jenis lainnya.Aktivitas
antibakteri dan antioksidan ubi ungu sekitar 3.2 kali dan 2.5 kali lebih tinggi
daripada beberapa varietas bluberi.Ubi ungu juga membantu dalam memperlancar peredaran
darah (Kano et al. 2005).
Tabel 5. Kandungan Kimia Ubi ungu
Sifat
kimia dan fisik
|
Jumlah
|
Kadar
air (%bb)
|
67,77
|
Kadar
abu (%bk)
|
3,28
|
Kadar
pati (%bk)
|
55,27
|
Gula
reduksi (%bk)
|
1,79
|
Kadar
lemak (%bk)
|
0,43
|
Kadar
antosianin (mg/100g)
|
923,65
|
Aktivitas
antosianin (%)
|
61,24
|
Warna
(L)
|
37,5
|
Warna
(a)
|
14,2
|
Warna
(b)
|
11,5
|
Sumber: Widjanarko 2008
2.2.6
Tomat
Tomat (Solanum lycopersicum) merupakan salah satu
tanaman yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Namun pemanfaatannya
hanya sebatas sebagai lalap dan bahan tambahan dalam masakan. Kandungan senyawa
dalam buah tomat di antaranya solanin (0,007 %), saponin, asam folat, asam
malat, asam sitrat, bioflavonoid (termasuk likopen, α dan ß-karoten), protein,
lemak, vitamin, mineral dan histamin (Canene-Adam, dkk.,
2004). Tomat mengandung komponen nutrisi terutama kaya akan vitamin dan
mineral. Dalam satu buah tomat segar ukuran sedang (100 gram) mengandung
sekitar 30 kalori, 40 mg vitamin C, 1500 SI vitamin A, 60 ug tiamin (vitamin
B), zat besi, kalsium dan lain-lain (Depkes RI, 1972). Menurut Tonucci et al
(1995) komposisi zat gizi yang terkandung di buah tomat cukup lengkap.
Vitamin A dan C merupakan zat gizi yang jumlahnya cukup dominan dalam buah
tomat. Menurut Jungs and Wells (1997) vitamin C dapat berbentuk sebagai asam
L-askorbat dan asam L-dehidroaskorbat yang keduanya mempunyai keaktifan sebagai
vitamin C.
Kandungan vitamin C yang cukup tinggi
pada tomat berperan untuk mencegah penyakit sariawan, memelihara kesehatan gigi
dan gusi, mempercepat sembuhnya luka serta mencegah kerusakan atau pendarahan
pada pembuluh darah halus. Senyawa likopen dapat menurunkan risiko terkena
kanker, terutama kanker prostat, lambung, tenggorokan dan kanker usus besar.
Kandungan asam klorogenat dan asam p-kumarat di dalam tomat mampu melemahkan
zat nitrosamin penyebab kanker (Tri Dewanti, 2010)
2.3 Prinsip Analisa
Metode Gravimetri
Prinsip metode penetapan kadar air dengan oven atau Thermogravimetri yaitu menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Penimbangan bahan
dengan berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan dan cara ini relatif
mudah dan murah. Percepatan penguapan air serta menghindari terjadinya
reaksi yang lain karena pemanasan maka dapat dilakukan pemanasan dengan suhu
rendah dan tekanan vakum. Bahan yang telah
mempunyai kadar gula tinggi, pemanasan dengan suhu kurang lebih 100º C dapat
mengakibatkan terjadinya pergerakan pada permukaan bahan.
Suatu bahan yang telah mengalami pengeringan lebih bersifat hidroskopis dari pada bahan asalnya.
Oleh karena itu selama pendinginan sebelum penimbangan, bahan telah ditempatkan dalam ruangan
tertutup yang kering misalnya dalam eksikator atau desikator yang telah diberi zat penyerapan air. Penyerapan air atau uap ini dapat menggunakan kapur aktif,
asam sulfat, silica gel, kalium klorida, kalium hidroksid, kalium sulfat atau
bariumoksida. Silika gel yang digunakan sering diberi warna guna memudahkan
bahantersebut sudah jenuh dengan air atau
belum, jika sudah jenuh akan berwarnamerah
muda, dan bila dipanaskan menjadi kering berwarna biru (Sudarmadji, 2007).
2.4 Kadar Air Penting
Dilakukan Bagi Produk Makanan
Kadar air
dalam bahan makanan sangat mempengaruhi kualitas dan daya simpan dari pangan
tersebut. Oleh karena itu, penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat
penting agar dalam proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat penanganan
yang tepat. Kadar air dalam suatu bahan
pangan sangat berpengaruh pada mutu produk pangan tersebut. Semakin banyak
kadar air yang terkandung, umur simpannya semakin sebentar, karena kalau suatu
bahan banyak mengandung kadar air, maka sangat memungkinkan adanya mikroba yang
tumbuh. Oleh karena itu kita harus mengetahui kandungan air dalam suatu bahan
agar dapat memprekdisikan umur simpannya. (Christian 1980).
BAB
3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1
Alat dan Bahan
3.1.1
Alat
1. Pisau
2. Telenan
3. Oven
4. Eksikator
5. Penjepit
6. Spatula
7. Neraca
analitik
8. Botol
timbang
3.1.2
Bahan
1. Talas
2. Singkong
3. Kentang
4. Tomat
5. Ubi
ungu
6.
Ubi jalar
7.
Label
8.
Tissue
3.2 Prosedur Analisa
Pertama
yaitu menyiapkan alat dan bahan. Selanjutnya botol timbang yang berfungsi
sebagai wadah bahan dioven terlebih dahulu selama 15 menit untuk menghilangkan
air pada botol timbang. Kemudian dieksikator
selama 5 menit untuk pendinginan dan menjaga kestabilan kelembapan (RH) dan ditimbang
kembali sebagai a gram untuk mengetahui berat awal botol. Selanjutnya tambahkan 3 gram bahan untuk dianalisa.
Kemudian untuk mengetahui berat bahan dan botol timbang kita timbang lagi
diberi label b gram. Dioven selama 24 jam untuk mengetahui perubahan kandungan
kadar air pada suatu bahan dan di eksikator selama 5 menit untuk pendinginan
dan menajaga kestabilan kelembapan (RH). Tahap terakhir di lakukan penimbangan
2 kali sebagai c gram untuk mengetahui berat bahan konstan.
BAB 4. PEMBAHASAN
Pada
praktikum analisa kadar air bahan-bahan yang digunakan adalah ubi jalar,
singkong, kentang, tomat, talas dan ubi ungu. Bahan-bahan tersebut memiliki
kandungan air yang berbeda-beda. Dari grafik diatas kandungan air yang paling
banyak terdapat pada tomat, sedangkan
kandunagan air terendah terdapat pada
singkong.
Kadar
air pada ubi jalar sebesar 75,143%, sedangkan menurut Kotecha dan Kadam (1998)
kandungan air dalam ubi jalar adalah 72,84%. Hal ini sudah sesuai denagn
literatur karena jarak antara literatur dengan hasil praktikum tidak terlalu
jauh berbeda.Untuk nilai SD (Standar Deviasi) dari ubi jalar adalah 0,095.Hal
ini menunjukkan bahwa data yang diperoleh sudah cukup akurat karena keakurasiaannya
mencapai 99%.
Dari
hasil praktikum diperoleh kadar airnya
sebanyak 55,047%. Sementara Departemen Kesehatan RI (1992) menyebutkan bahwa
kadar air dalam bahan singkong yaitu sebanyak 62,5%.Perbedaan kandungan ini
mungkin disebabkan karena bahan singkong yang digunakan saat praktikum sudah
tersimpan terlalu lama, sehingga kandungan airnya berkurang akibat terkena
cemaran udara dan panas matahari. Sedangkan yang menurut literatur menggunakan
singkong segar. Mungkin itu yang menyebabkan adanya perbedaan kandungan
airnya.Nilai SD (Standart Deviasi) dari singkong 0,264. Dari nilai SD yang
telah didapat, hal ini berarti nilai keakurasiaannya 95% karena mendekati nilai
1.
Hasil
dari praktikum sebesar 77,829%, sedangkan kandungan air dalam bahan kentang
sekitar 80%, Hal ini sudah sesuai dengan literatur karena kandungan air yang
didapat pada praktikum hampir mendekati dengan literatur.Kentang memiliki nilai
SD sebesar 0,873.Jika nilai SD <1 maka bisa dikatakan data yang diperoleh
sudah cukup akurat dan nilai keakurasiaannya mencapai 99%.
Tomat
merupakan jenis buah yang banyak mengandung air didalamnya. Menurut Direktorat
Departemen Kesehatan (1990) kadar air
dalam tomat sebesar 93-94%. Hal ini sudah sesuai dengan hasil yang didapat saat
praktikum yaitu sebesar 93,117%.Sedangkan nilai SD pada tomat tingkat
keakurasiaanya mencapai 99% karena nilai SD yang diperoleh <1 yaitu sebesar
0,955.
Nilai
kadar air yang didapat dari talas saat praktikum sebanyak 74,227%, dan
menurut Direktorat Gizi Depkes RI (1972)
kadar air yang terdapat didalam talas sebanyak 63-85%. Hal ini sudah sesuai
dengan literatur yang telah disebutkan. Nilai SD yang diperoleh pada bahan
talas ini sebesar 0,29, dengan tingkat keakurasiaannya 99%.
Nilai
kadar air pada bahan yang terakhir yaitu ubi ungu sebanyak 74,193%, sedangkan
menurut literatur hanya sebanyak 62,5%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena
perbedaan varietas bahan sehingga kadar airnya juga berbeda. Pada data ubi ungu
tingkat keakurasiaanya hanya 95% hal ini disebabkan karena nilai SD yang
diperoleh >1 yaitu 1,332.
BAB 5. PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahsan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Prinsip metode penetapan kadar air dengan oven atau Thermogravimetri yaitu menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan.
b. Kadar
air pada ubi jalar sebesar 75,143%, sedangkan menurut Kotecha dan Kadam (1998)
kandungan air dalam ubi jalar adalah 72,84%. Hal ini sudah sesuai dengan
literatur karena jarak antara literatur dengan hasil praktikum tidak terlalu
jauh berbeda.
c. Dari hasil praktikum diperoleh kadar airnya sebanyak 55,047%. Sementara
Departemen Kesehatan RI (1992) menyebutkan bahwa kadar air dalam bahan singkong
yaitu sebanyak 62,5%. Perbedaan kandungan ini mungkin disebabkan karena bahan
singkong yang digunakan saat praktikum sudah tersimpan terlalu lama, sehingga
kandungan airnya berkurang akibat terkena cemaran udara dan panas matahari.
Sedangkan yang menurut literatur menggunakan singkong segar. Mungkin itu yang
menyebabkan adanya perbedaan kandungan airnya.
d. Hasil dari praktikum sebesar 77,829%,
sedangkan kandungan air dalam bahan kentang sekitar 80%, Hal ini sudah sesuai
dengan literatur karena kandungan air yang didapat pada praktikum hampir
mendekati dengan literatur.
e. Tomat merupakan jenis buah yang banyak
mengandung air didalamnya. Menurut Direktorat Departemen Kesehatan (1990)
kadar air dalam tomat sebesar 93-94%.
Hal ini sudah sesuai dengan hasil yang didapat saat praktikum yaitu sebesar
93,117%.
f. Nilai kadar air yang didapat dari talas saat
praktikum sebanyak 74,227%, dan menurut
Direktorat Gizi Depkes RI (1972) kadar air yang terdapat didalam talas
sebanyak 63-85%. Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang telah disebutkan.
g. Nilai
kadar air pada bahan yang terakhir yaitu ubi ungu sebanyak 74,193%, sedangkan
menurut literatur hanya sebanyak 62,5%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena
perbedaan varietas bahan sehingga kadar airnya juga berbeda.
5.2 Saran
- Pada saat menjelaskan teori lebih jelas agar praktikan lebih paham
- Selesai meggunakan alat laboratorium, segera dicuci dan kembalaik ke tempat semula.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC.
1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical
Chemistry. 14th Ed. Virginia : AOC, Inc.
Canene-Adams K., Clinton, S.K., King, J. L.,
Lindshield, B. L., Wharton C., Jeffery, E. & Erdman, J. W. Jr. 2004. The growth of the Dunning R-3327-H
transplantable prostate adenocarcinoma in rats fed diets containing tomato,
broccoli, lycopene, or receiving finasteride treatment. FASEB J. 18: A886 (591.4).
Christian JHB. 1980. Reduced water activity. 79−90. In
J.H. Silliker, R.P. Elliot, A.C. Baird-Parker, F.L. Brian, J.H.B. Christian,
D.S. Clark, J.C.Olson Jr., and T.A. Roberts (Eds.). Microbial Ecology of Foods. New York: Academic Press
Crampton, EW. 1959. Fundamental
of Nutrition. USA: Freeman and Company
Depkes RI, 1990. Peraturan
Menteri Kesehatan RI No 416/Menkes/Per/IX/1990. Jakarta: Depkes RI.
Depkes RI.,
1992. UU RI No.23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan. Jakarta: Depkes RI
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan. 1972. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharat.
Jakarta. 57pp
Jung, H.C. and Wells, W.W. 1997. Spontaneous Conversion of L-Dehydroascorbic
Acid to L-Ascorbic Acid and L-Erythroascorbic Acid. Biochemistry &
Biophysic Article. 355:9-14.
Kasno, A. 2005. Strategi
Pengembangan Kacang tanah di Indonesia.Peningkatan Produksi Kacang-Kacangan dan
Umbi -Umbian Mendukung Kemandirian Pangan.Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pertanian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Kotecha, PM., and S.S. Kadam. 1998. Sweet Potato, in Handbook of Vegetable
Science and Technology (Salunkhe, D.K and S.S Kadam eds). New York:Marcel
Dekker Inc.
Lingga, P., Sarwono,B., Rahardi, I., Rahardjo,P.C., Afriastini,
J.J., Wudianto, R. dan Apriadji, W.H. 1989. Bertanam
Umbi-Umbian. Jakarta: PT Penebar Swadaya.Jakarta: Liberty.
Muchtadi TR dan Sugiono. 1992. Ilmu Oengetahuan Bahan Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB
Nonnecke.
1989. Vegetable Production. Canada:
Van Nostrand Reinhold
Onwueme, I.C. 1994. The Tropical Tubers Crops, Yams, Cassava, Sweet Potato, and Cocoyams.
John Wiley and Chisester, New York
Purwono.
2009.
Budidaya 8 Jenis Tanaman Unggul.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Rukmana,
R. 1998. Budidaya Talas. Jakarta:
Penerbit Swadaya,.
McCarty, P.L., and Smith, D.P., 1986, Anaerobic Wastewater Treatment dalam MetCalf
and Eddy, 2003, Wastewater Engineering : Treatment Dispossal And Reuse, 4th
edition, McGraw Hill Book Co., New York
Sudarmadji S, Bambang H, Suhardi. 2007. Analisis Bahan Makanan danPertanian. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Sudarmadji, I. B.
(2003). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian (Edisi ke 2 ed., Vol. III).
Yogyakarta, DIY, Indonesia: Liberty Yogyakarta.
Syarief, R dan A. Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Jakarta: Mediyatama
Sarana Perkasa.
Tonucci, L., M.J. Holden, G.R. Beecher,
F. Khacik, C.S. Davis, and G Mulokozi (1995), ”carotenoid content of thermally processed tomato based food product”,
J. Agric, Food Chem., (43):579-586.
Tri Dewanti Ir.W., M.Kes, dkk. 2010. Aneka Produk Olahan Tomat Dan Cabe.
Malang: Universitas Brawijaya.
Widjanarko S. 2008. Efek Pengolahan terhadap Komposisi Kimia & Fisik Ubi Jalar Ungu dan
Kuning. Yogyakarta: Liberti
Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Yamakawa. 1998. Radical Scavenging Activities of Sweet
Potato Cultivar with Purple Flesh. Tokyo: Food Science Technology Inc.
terimakasih sangat bermanfaat
BalasHapus