BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini,
produk pangan semakin baragam bentuknya, baik itu dari segi jenisnya maupun
dari segi rasa dan cara pengolahannya. Namun seiring dengan semakin pesatnya
teknologi pengolahan pangan, penambahan bahan-bahan aditif pada produk pangan
sulit untuk dihindari. Akibatnya keamanan pangan telah menjadi dasar pemilihan
suatu produk pangan yang akan dikonsumsi. Keamanan pangan merupakan hal yang
sedang banyak dipelajari, karena manusia semakin sadar akan pentingnya sumber makanan
dan kandungan yang ada di dalam makanannya. Hal ini terjadi karena adanya
kemajuan ilmu pengetahuan serta kemajuan teknologi, sehingga diperlukan suatu
cara untuk mengawasi keamanan pangan.
Dalam proses
keamanan pangan, dikenal pula usaha untuk menjaga daya tahan suatu bahan
sehingga banyaklah muncul bahan-bahan pengawet yang bertujuan untuk
memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan. Namun dalam praktiknya di
masyarakat, masih banyak yang belum memahami perbedaan penggunaan bahan
pengawet untuk bahan-bahan pangan dan non pangan. Formalin merupakan salah satu
pengawet non pangan yang sekarang banyak digunakan untuk mengawetkan makanan.
Formalin
adalah nama dagang dari campuran formaldehid, metanol dan air. Formalin yang
beredar di pasaran mempunyai kadar formaldehid yang bervariasi, antara 20% -
40%. Formalin memiliki kemampuan yang sangat baik ketika mengawetkan makanan,
namun walau daya awetnya sangat luar biasa, formalin dilarang digunakan pada
makanan karena berbahaya untuk kesehatan manusia. Bahaya yang ditimbulkan
akibat penggunaan formalin bermacam-macam, misal mual, muntah, bahakan dapat
menyebabkan kanker. Hal ini disebabkan oleh bahaya residu yang ditinggalkannya
bersifat karsinogenik bagi tubuh manusia.
Oleh
karena itu perlu dilakukan uji formalin pada berbagai produk pangan seperti
bakso, mie basah, ikan asin dan lain-lain. Hal ini bertujuan agar kita dapat
mengetahui produk apa saja yang mengandung pengwet buatan (formalin).
1.2 Tujuan
a. Untuk
mengetahui cara mengindetifikasi formalin dalam bahan pangan dan makanan
b. Untuk
ciri-ciri makanan yang mengandung formalin.
BAB
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Formalin
Formalin
merupakan cairan jernih yang tidak berwarna dengan bau menusuk, uapnya
merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan rasa membakar. Bobot tiap
mililiter adalah 1,08 gram. Dapat bercampur dengan air dan alkohol, tetapi
tidak bercampur dengan kloroform dan eter (Norman and Waddington, 1983).
Didalam formalin mengandung sekitar 37% formaldehid dalam air, biasanya
ditambah methanol hingga 15% sebagai pengawet. Formalin dikenal sebagai bahan
pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Nama lain dari
formalin adalah Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane,
Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan
Formalith (Astawan, Made, 2006). Berat Molekul Formalin adalah 30,03
dengan Rumus Molekul HCOH. Karena kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan
distribusinya ke dalam sel tubuh. Gugus karbonil yang dimilikinya sangat aktif,
dapat bereaksi dengan gugus –NH2 dari protein yang ada pada tubuh membentuk
senyawa yang mengendap (Harmita, 2006).
Rumus bangun formalin:
O
H C
H
Formaldehid
(formalin) adalah larutan tidak berwarna, reaktif, dan dapat membentuk polimer
pada suhu normal pada saat berwujud gas. Kalor pembakaran untuk gas formalin
4,47 Kcal / gram. Daya bakar dilaporkan pada rentang volume 12,5 – 80 % di
udara. Campuran 65 – 70 % formaldehid di dalam udara sangat mudah terbakar.
Formaldehid dapat terdekomposisi menjadi metanol dan karbonmonooksida pada suhu
150oC dan pada suhu 300˚C jika dekomposisi tidak menggunakan katalis. Pada
tekanan atmosfer formaldehid mudah mengalami fotooksidasi menjadi
karbondioksida (WAAC Newsletter, 2007). Larutan formaldehid atau larutan
formalin mempunyai nama dagang formalin, formol atau mikrobisida dengan rumus
molekul CH2O mengandung 37 % gas formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan 10
– 15% metanol untuk menghindari polimerisasi. Larutan ini sangat kuat dan
dikenal dengan larutan formalin 40% yang mengandung 40 gram formaldehid dalam
100 ml pelarut (Cahyadi, 2006).
2.2
Karakteristik
Formalin
Formalin
atau Senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal), merupakan aldehida
berbentuknya gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida awalnya
disintesis oleh kimiawan Rusia Aleksandr Butlerov tahun 1859, tapi
diidentifikasi oleh Hoffman tahun 1867. Formaldehida bisa dihasilkan dari
pembakaran bahan yang mengandung karbon. Terkandung dalam asap pada kebakaran
hutan, knalpot mobil, dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi, formaldehida
dihasilkan dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana dan
hidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Formaldehida dalam kadar kecil sekali
juga dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia (Reuss
2005).
Meskipun dalam
udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut dalam air
(biasanya dijual dalam kadar larutan 37% menggunakan merk dagang ‘formalin’
atau ‘formol’ ). Dalam air, formaldehida mengalami polimerisasi dan sedikit
sekali yang ada dalam bentuk monomer H2CO. Umumnya, larutan ini
mengandung beberapa persen metanol untuk membatasi polimerisasinya. Formalin
adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara 10%-40%. Meskipun
formaldehida menampilkan sifat kimiawi seperti pada umumnya aldehida, senyawa
ini lebih reaktif daripada aldehida lainnya. Formaldehida merupakan elektrofil,
bisa dipakai dalam reaksi substitusi aromatik elektrofilik dan sanyawa aromatik
serta bisa mengalami reaksi adisi elektrofilik dan alkena. Dalam keberadaan
katalis basa, formaldehida bisa mengalami reaksi Cannizzaro, menghasilkan asam
format dan metanol. Formaldehida bisa membentuk trimer siklik, 1,3,5-trioksana
atau polimer linier polioksimetilena. Formasi zat ini menjadikan sifat-sifat
gas formaldehida berbeda dari sifat gas ideal, terutama pada tekanan tinggi
atau udara dingin. Formaldehida bisa dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi
asam format, karena itu larutan formaldehida harus ditutup serta diisolasi
supaya tidak kemasukan udara (Reuss 2005).
2.3 Fungsi Formalin
Oleh karena harganya
yang terjangkau, formalin banyak digunakan dalam berbagai jenis industri
seperti pembuatan perabot dan juga digunakan sebagai bahan campuran dalam
pembuatan bangunan. Selain itu, formalin juga digunakan sebagai bahan pengawet
mayat dan agen fiksasi di laboratorium. Bahan pengawet ini, menurut Kepala
Pusat Penelitian Kimia LIPI, Dr. Leonardus Broto Kardono (2006).
Penggunaan formalin
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pembunuh
kuman sehingga digunakan sebagai pembersih lantai, gudang, pakaian dan kapal.
b. Pembasmi
lalat dan serangga.
c. Bahan
pembuat sutra bahan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak.
d. Dalam
dunia fotografi digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas.
e. Bahan pembentuk pupuk berupa urea.
f. Bahan pembuatan produk parfum.
g. Pencegah
korosi untuk sumur minyak.
h. Bahan
untuk isolasi busa.
i.
Bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood)
(Oke, 2008).
Larutan
formaldehid adalah disinfektan yang efektif melawan bakteri vegetatif, jamur
atau virus tetapi kurang efektif melawan spora bakteri. Formaldehid bereaksi
dengan protein dan hal tersebut mengurangi aktivitas mikroorganisme. Efek
sporosidnya meningkat, yang meningkat tajam dengan adanya kenaikan suhu.
Larutan 0,5 % formaldehid dalam waktu 6 – 12 jam dapat membunuh bakteri dan
dalam waktu 2 – 4 hari dapat membunuh spora, sedangkan larutan 8% dapat
membunuh spora dalam waktu 18 jam. Formaldehid memiliki daya antimicrobial yang
luas yaitu terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aerogenosa, Pseudomonas florescens, Candida
albicans, Aspergillus niger, atau Penicillium notatum. Mekanisme
formaldehid sebagai pengawet diduga bergabung dengan asam amino bebas dari protoplasma
sel atau mengkoagulasikan protein (Cahyadi, 2006).
Formaldehid
membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan
air) sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di permukaan.
Artinya formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan
baru yang melindungi lapisan di bawahnya supaya tahan terhadap serangan bakteri
lain. Bila desinfektan lainnya mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara
membunuh maka formalin akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam
materi tersebut untuk melindungi dari serangan berikutnya (Cipta Pangan, 2006)
Mekanisme
formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein
sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan. Akibat
dari reaksi tersebut protein mengeras dan tidak dapat larut (Herdiantini,
2003). Sifat penetrasi formalin cukup baik, tetapi gerakan penetrasinya lambat sehingga
walaupun formaldehid dapat digunakan untuk mengawetkan sel-sel tetapi tidak
dapat melindungi secara sempurna, kecuali jika diberikan dalam waktu lama
sehingga jaringan menjadi keras (Herdiantini, 2003).
2.4
Macam-macam
Metode Uji Formalin
2.4.1 Metode Spot Test
Beberapa
metode analisa kimia yang sudah ada, untuk penetapan kandungan formalin, borak,
dan zat pewarna berbahaya salah satunya dapat dilakukan dengan metode spot
test. Yaitu metode analisa kimia dengan menggunakan reagent kit (kit tester).
Metode ini mempunyai keistimewaan antara lain cepat, murah, pasti dan tidak
memerlukan peralatan yang rumit dan dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun (Shofi A, 2008).
Prinsip
kerjanya adalah dengan menambahkan cairan (reagent) pada bahan makanan
yang diduga menggunakan bahan yang diselidiki, dengan hasil akhir terjadinya
perubahan warna khas. FMR (formalin main reagent) merupakan salah satu
jenis kit tester kandungan formalin. Kit tester tersebut merupakan salah satu
penemuan dari dosen FMIPA UB Malang. Produk kit FMR tersebut ditunjukan dalam
Gambar 1.
Gambar
1. Reagen kit FMR (Shofi A, 2008).
2.4.2 Sensor Warna TCS 3200
Sensor
warna TCS 3200 adalah sensor warna buatan TAOS Parralax. TCS 3200 merupakan
produk penyempurnaan dari produk sebelumnya yaitu TCS 230. Perbedaan antara TCS
3200 dan TCS 230 adalah konsumsi arusnya (Noor, 2010). Bentuk fisik dari sensor
warna ditunjukan dalam gambar 2.
Gambar
2. Modul Sensor Warna TCS 3200 (Noor, 2010)
2.4.3 Mikrokontroler AVR ATmega8
·
AVR
merupakan salah satu jenis mikrokontroler yang di dalamnya terdapat berbagai
macam fungsi khusus seperti ADC, EEPROM kapasitas 128 byte sampai dengan 512
byte. Mikrokontroller dengan konsumsi daya rendah ini mampu mengeksekusi
instruksi dengan kecepatan maksimum 16MIPS pada frekuensi 16MHz. Jika
dibandingkan dengan ATmega8L perbedaannya hanya terletak pada besarnya tegangan
yang diperlukan untuk bekerja. ATmega8 tipe L, dapat bekerja dengan tegangan
antara 2,7 - 5,5 V sedangkan untuk ATmega8 hanya dapat bekerja pada tegangan
antara 4,5 5,5 V (Wasito S, 2004). Adapun konfigurasi pin dari ATmega8
ditunjukan dalam gambar 3.
Gambar 3. Konfigurasi
pin ATmega8 (Wasito S, 2004)
2.5
Karakteristik
Sampel
2.5.1 Tahu
Tahu merupakan hasil olahan
dari bahan dasar kacang kedelai melalui proses pengendapan dan penggumpalan
oleh bahan penggumpal. Tahu ikut berperan dalam pola makan sehari-hari sebagai
lauk pauk maupun sebagai makanan ringan. Kacang kedelai sebagai bahan dasar
tahu mempunyai kandungan protein sekitar 30-45%. Dibandingkan dengan kandungan
protein bahan pangan lain seperti daging (19%), ikan (20%) dan telur (13%),
ternyata kedelai merupakan bahan pangan yang mengandung protein tertinggi.
Penggunaan CaSO4 merupakan cara penggumpalan tradisional yang dapat
menghasilkan tahu yang bermutu baik (Tim Pengajar Pendidikan Industri Tahu,
1981).
Tahu termasuk bahan makanan yang berkadar air
tinggi. Besarnya kadar air dipengaruhi oleh bahan penggumpal yang dipakai pada
saat pembuatan tahu. Bahan penggumpal asam menghasilkan tahu dengan kadar air
lebih tinggi dibanding garam kalsium. Bila dibandingkan dengan kandungan
airnya, jumlah protein tahu tidak terlalu tinggi, hal ini disebabkan oleh kadar
airnya yang sangat tinggi. Makanan-makanan yang berkadar air tinggi umumnya
kandungan protein agak rendah. Selain air, protein juga merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan bahan mempunyai
daya awet rendah (Hamid, 2012).
Tahu diproduksi dengan
memanfaatkan sifat protein, yaitu akan menggumpal bila bereaksi dengan batu
tahu. Penggumpalan protein oleh batu tahu akan berlangsung secara cepat dan
serentak di seluruh bagian cairan sari kedelai, sehingga sebagian besar air
yang semula tercampur dalam sari kedelai akan terperangkap di dalamnya.
Pengeluaran air yang terperangkap tersebut dapat dilakukan dengan memberikan
tekanan. Semakin besar tekanan yang diberikan, semakin banyak air dapat
dikeluarkan dari gumpalan protein. Gumpalan protein itulah yang kemudian
disebut sebagai tahu (Bayuputra, 2011).
Kandungan air di dalam tahu
ternyata bukan merupakan hal yang merugikan. Oleh beberapa pengusaha, hal
tersebut justru dimanfaatkan untuk memproduksi tahu dengan tingkat kekerasan
yang rendah (tahu gembur). Dalam proses pembuatan tahu gembur, air yang
dikeluarkan hanya sebagian kecil, selebihnya dibiarkan tetap berada di dalam
tahu. Dengan demikian, akan dihasilkan tahu yang berukuran besar namun gembur
(Bayuputra, 2011).
Tabel
1. Kandungan gizi tahu
No
|
Unsur gizi
|
Kadar/100 g bahan
tahu
|
1
|
Energi (kal)
|
79
|
2
|
Protein (g)
|
7,8
|
3
|
Mineral (g)
|
2,2
|
4
|
Kalsium (mg)
|
124
|
5
|
Fosfor (mg)
|
63
|
6
|
Zat besi (mg)
|
0,8
|
7
|
Vitamin A (mcg)
|
0
|
8
|
Vitamin B (mg)
|
0.06
|
9
|
Air
|
12,5
|
Sumber : (Bayuputra, 2011)
2.5.2 Lontong
Lontong
merupakan salah satu cara penyajian nasi berbahan dasar beras. Lontong
berbentuk nasi yang dipadatkan karena dimasak dengan air namun ditekan dengan
pembungkus biasanya daun pisang atau plastik. Lontong mempunyai tekstur kenyal
dan lembut serta dapat bertahan hingga dua hari jika disimpan dalam lemari
pendingin (Tarwodjo,1998).
Pada proses
pembuatan lontong dapat dilakukan dengan memasukkan beras ke dalam panci.
Tuangkan air hingga setinggi satu ruas jari dari permukaan beras. Masak sampai
menjadi aron. Ambil selembar daun pisang, taruh 3 hingga 4 sendok makan beras
aron di atasnya. Gulung hingga berbentuk bulat panjang bergaris tengah 4 cm.
Semat kedua ujungnya dengan lidi. Lakukan hingga semua beras aron terbungkus.
Didihkan air yang banyak dalam panci, masukkan gulungan beras ke dalamnya
hingga terendam air. Rebus selama 4 jam, bila air berkurang tambahkan air panas
secukupnya. Setelah lontong matang, angkat, tiriskan kemudian didinginkan.
2.5.3 Ikan
asin
Ikan sebagai bahan makanan yang
mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial yang diperlukan
oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90%, dengan jaringan
pengikat sedikit sehigga mudah dicerna (Adawyah, 2007). Ikan merupakan komoditi
ekspor yang mudah mengalami pembusukan dibandingkan produk daging, buah dan
sayuran. Pembusukan pada ikan terjadi karena beberapa kelemahan dari ikan yaitu
tubuh ikan mengandung kadar air tinggi (80%) dan pH tubuh mendekati netral,
sehingga memudahkan tumbuhnya bakteri pembusuk, daging ikan mengandung asam
lemak tak jenuh berkadar tinggi yang sifatnya mudah mengalami proses oksidasi
sehingga seringkali menimbulkan bau tengik, jaringan ikat pada daging ikan
sangat sedikit sehingga cepat menjadi lunak dan mikroorganisme cepat
berkembang.
Oleh karena beberapa kelemahan tersebut,
para produsen melakukan penghambatan kebusukan dari ikan dengan membuat kondisi
lingkungan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan mikroba, sehingga mikroba dapat
ditekan pertumbuhannya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan proses
penggaraman dan pengeringan yang kemudian hasil produksinya disebut dengan ikan
asin. Ikan asin diproduksi dari bahan ikan segar atau ikan setengah basah yang
ditambahkan garam 15-20%. Walaupun kadar air didalam tubuh ikan masih tinggi
30-35 persen, namun ikan asin dapat disimpan agak lama karena penambahan garam
yang relatif tinggi tersebut. Untuk mendapatkan ikan asin berkualitas bahan
baku yang digunakan harus bermutu baik, garam yang digunakan biasanya garam
murni berwarna putih bersih. Garam ini mengandung kadar natrium chlorida (NaCl)
cukup tinggi, yaitu sekitar 95 %. Komponen yang biasa tercampur dalam garam
murni adalah MgCl2 (magnesium chlorida), CaCl2 (calsium
chlorida), MgSO4 (magnesium sulfat), CaSO4 (calsium
sulfat), lumpur, dll. Jika garam yang digunakan Mg (magnesium) dan Ca (calsium)
akan menghambat proses penetrasi garam ke dalam daging ikan, akibatnya daging
ikan berwarna putih, keras, rapuh dan rasanya pahit. . Jika garam yang
digunakan mengandung Fe (besi) dan Cu (tembaga) dapat mengakibatkan ikan asin
berwarna coklat kotor atau kuning (Djarijah, 1995).
2.5.4 Cilok
Pentol cilok adalah makanan ringan
menyerupai pentol yang terbuat dari tepung kanji, berasa gurih dan kenyal.
Awalnya makanan ini merupakan khas dari Jawa Barat, namun sekarang sudah mulai
merambah ke daerah-daerah lain. Perlu diwaspadai akan kemanan pangan dari
pentol cilok tersebut, karena biasanya pentol cilok dijual dalam keadaan
terbuka dan dibiarkan dalam waktu yang lama, sehingga memungkinkan terjadinya
cemaran oleh mikroba. Cemaran oleh mikroba pada pentol cilok juga dipengaruhi
oleh sanitasi selama proses pengolahan serta higiene dari penjamah makanan.
Selain cemaran oleh mikroba, keamanan pangan pentol cilok juga dipengaruhi oleh
bahan-bahan yang digunakan, kualitas dari bahan-bahan tersebut, penggunaan
bahan tambahan makananan serta keberadaan bahan berbahaya dalam pembuatan
pentol cilok.
2.5.5 Mie
basah
Mie basah adalah jenis mi yang mengalami proses
perebusan, dimana kadar airnya tinggi dapat mencapai 52% sehingga memiliki daya
tahan yang singkat. Salah satu jenis mi yang termasuk dalam mi basah adalah mi
tiaw. Mi basah memiliki daya tahan yang singkat, karena mengandung kadar air
yang cukup tinggi. Dimana pada suhu kamar mie basah hanya bertahan selama 10-12
jam, sehingga perlu ditambahkan bahan pengawet untuk meningkatkan daya
simpannya (Widyaningsih & Murtini, 2006). Komposisi gizi mie basah secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Gizi Mie Basah per
100 g Bahan
Zat gizi
|
Mie Basah
|
Energy
(kal)
Protein
(g)
Lemak
(g)
Karbohidrat
(g)
Kalsium
(mg)
Besi
Vitamin
A
Vitamin
B1 (mg)
Vitamin
C (mg)
Air
(mg)
|
86
0,6
3,3
14
13
0,8
-
-
-
80
|
Sumber
: Astawan, (1999)
Menurut
Astawan, (1999), mie basah yang baik adalah mie yang secara kimiawi mempunyai
nilai kimia yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Departemen
Perindustrian melalui SII 2046-90. Persyaratan tersebut data dilihat pada Tabel
3.
Tabel
3. Syarat Mutu Mie Basah (SII 2046-90)
Kriteria
Uji
|
Satuan
|
Persyaratan
|
1.
Keadaan :
a. Bau
b. Warna
c. Rasa
|
|
Normal
Normal
Normal
|
2. Kadar
air
|
%, b/b
|
20-35
|
3. Abu
|
%, b/b
|
Maksimum 3
|
4. Protein
|
%, b/b
|
Maksimum 8
|
5.
Bahan tambahan makanan:
a. Boraks
dan asam sorbat
b. Pewarna
c. Formalin
|
|
Tidak boleh
Yang diizinkan
Tidak boleh
|
6.
Pencemaran logam:
a. Timbale
(Pb)
b. Tembaga
(Cu)
c. Seng
(Zn)
d. Raksa
(Hg)
|
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
|
Maksimum
1,0
Maksimum
10,0
Maksimum
40,0
Maksimum 0,05
|
7. Pencemaran
mikrobia:
a. Angka
lempeng total
b. E.coli
c. Kapang
|
Koloni/g
APM/g
Koloni/g
|
Maksimum
1,0 x 106
Maksimum
10
Maksimum 1,0 x 104
|
Sumber
: Astawan, (1999)
2.5.6 Bakso
Bakso merupakan salah satu produk olahan yang sangat populer. Banyak orang
menyukainya, dari anak-anak sampai orang dewasa. Bakso tidak saja hadir dalam
sajian seperti sajian mie bakso maupun mie ayam. Bola-bola daging ini juga
biasa digunakan dalam campuran beragam masakan lainnya, sebut saja misalnya
nasi goreng, mie goreng, capcay, dan aneka sop (Widyaningsih, 2006).
Bakso merupakan produk dari protein daging, baik
daging sapi, ayam ikan maupun udang. Bakso dibuat dari daging giling dengan
bahan tambahan utama garam dapur (NaCl), tepung tapioka, dan bumbu berbentuk
bulat seperti kelereng dengan berat 25-30 gr per butir. Bakso memiliki tekstur
kenyal seperti ciri spesifiknya, kualitas bakso sangat bervariasi karena
perbedaan bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dan
tepung dan proses pembuatannya (Widyaningsih, 2006).
BAB
3.METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1
Alat
a. Mortar
dan alu
b. Tabung
reaksi dan rak tabung reaksi
c. Cawan
petri
d. Gelas
ukur 10 ml
e. Spatula
kaca
f. Beaker
glass 50 ml
g. Beaker
glass 600 ml
h. Vortex
i. Sendok
j. Rak
plastik
3.1.2
Bahan
a. Tahu
b. Lontong
c. Ikan
asin
d. Cilok
e. Mie
basah
f. Bakso
g. Label
h. Air
mendidih
i. Aquades
j. Reagen
A dan B
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN
PERHITUNGAN
4.1 Hasil Pengamatan
a.
P1
Sampel
|
Formalin
|
Boraks
|
||
Hasil
Uji
|
Warna
|
Hasil Uji
|
Warna
|
|
Tahu
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Lontong
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ikan Asin
|
+
|
++++
|
-
|
-
|
Cilok
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Mie Basah
|
+
|
++
|
+
|
++++
|
Bakso
|
+
|
+++
|
-
|
-
|
b.
P2
Sampel
|
Formalin
|
Boraks
|
||
Hasil
Uji
|
Warna
|
Hasil Uji
|
Warna
|
|
Tahu
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Lontong
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Ikan
Asin
|
+
|
++++
|
-
|
-
|
Cilok
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Mie
Basah
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Bakso
|
+
|
++
|
-
|
-
|
Keterangan :
·
Formalin semakin + semakin ungu
·
Boraks semakin + semakin merah bata
·
Maksimal hingga 4+
4.2 Hasil Perhitungan
Dalam
praktikum ini tidak dilakukan perhitungan
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Pada pengujian
kandungan formalin, yang pertama dilakukan adalah menyiapkan sampel sebanyak 10
gram. Sampel yang digunakan dalam
praktikum ini adalah tahu, lontong, ikan asin, cilok, mie basah dan bakso.
Sampel tersebut kemudian dilakukan dua perlakuan yang berbeda yaitu dilakukan
perendaman dan tanpa perendaman. Perbedaan perlakuan ini untuk mengetahui
pengaruh perendaman terhadap kandungan formalin dalam sampel. Kemudian sampel
dicincang dan dihaluskan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pelarutan zat-zat
yang terdapat dalam sampel. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air mendidih yang
bertujuan untuk mempermudah pelarutan zat-zat yang terdapat di dalam sampel
karena pengaruh suhu tinggi yang dapat mepercepat laju reaksi. Kemudian tunggu
sampai campuran tersebut dingin agar kandungan dalam sampel benar-benar
bereaksi dengan air tersebut. Setelah itu, diambil filtratnya dan ditetesi
dengan 4 tetes reagen A dan reagen B sebagai peraksi agar dapat terjadi
perubahan warna pada larutan sampel untuk menunjukkan ada atau tidaknya
formalin dalam bahan pangan tersebut. Selanjutnya, dilakukan pengocokan
menggunakan vortex untuk menghomogenkan larutan. Setelah itu ditunggu antara 5
sampai 10 menit agar reaksi dalam larutan optimal. Tahap terakhir adalah
dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna pada larutan tersebut. Apabila
larutan berubah menjadi ungu maka larutan positif mengandung formalin. Kemudian
dilakukan pencatatan terhadap hasilnya.
5.2 Analisis Data
Penggunaan
formalin pada bahan pangan berbahaya karena. Oleh sebab itu, sangat dilarang
menggunakan formalin sebagai bahan campuran dan pengawet makanan. Dapat kita
ketahui bahwa formalin merupakan senyawa kimia yang biasanya digunakan
sebagai antibakteri atau pembunuh kuman dalam berbagai keperluan jenis industri,
pengawet produk kosmetika, pengeras kuku dan bahan untuk insulasi busa dan
masih banyak lainnya. Namun, penggunaan formalin oleh sebagian orang disalah
gunakan dengan menggunakannya pada bahan pangan untuk mengawetkan makanan.
Pengujian
kandungan formalin dilakukan terhadap beberapa sampel yaitu tahu, lontong,
cilok, bakso, mie basah, dan ikan asin dengan dua perlakuan yang berbeda yaitu
direndam dan tanpa perendaman. Analisis yang dilakukan bertujuan untuk
mengetahui adanya formalin dalam makanan dan untuk mengetahui pengaruh tanpa
perendaman dan perendaman dengan air mendidih.
Pada
perlakuan tanpa perendaman dengan air mendidih, didapatkan sampel ikan asin,
mie basah dan bakso mengandung formalin karena hasil uji menunjukkan positif
(+). Pada sampel ikan asin menunjukkan warna yang paling ungu. Kedua yaitu
bakso dan yang terkecil yaitu mie basah. Perbedaan ini mungkin dikarenakan
konsentrasi formalin yang terdapat pada sampel tersebut berbeda. Semakin pekat
warna ungu pada sampel maka menunjukkan bahwa semakin banyak pula konsentrasi
formalin yang terapat pada sampel. Menurut Yuliarti (2007), pada ikan asin dalam
industri perikanan, formalin digunakan menghilangkan bakteri yang biasa hidup
di sisik ikan. Formalin diketahui sering digunakan dan efektif dalam pengobatan
penyakit ikan akibat ektoparasit seperti fluke dan kulit berlendir. Meskipun
demikian, bahan ini juga sangat beracun bagi ikan. Ambang batas amannya sangat
rendah sehingga terkadang ikan yang diobati malah mati akibat formalin daripada
akibat penyakitnya. Formalin banyak digunakan dalam pengawetan sampel ikan
untuk keperluan penelitian dan identifikasi. Namun para produsen mengunakannya
secara sembarangan. Sedangkan sampel tahu, lontong, dan cilok yang dianalisis
ternyata tidak menunjukkan hasil uji yang positif (+) dan tidak berwarna ungu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa bahwa sampel tahu, lontong, dan cilok tersebut
tidak mengandung formalin. Namun, kemungkinan sampel tahu, lontong, dan cilok
yang dianalisis mengandung formalin, akan tetapi dalam konsentrasi yang sangat
sedikit, sehingga saat dianalisis kualitatif tidak menunjukkan hasil positif.
Pada perlakuan dengan perendaman pada air mendidih,
menunjukan bahwa sampel ikan asin dan bakso masih mengandung formalin karena
hasil uji menunjukkan positif (+). Pada sampel ikan asin menunjukkan warna ungu
yang lebih pekat dari pada sampel bakso. Perbedaan ini mungkin dikarenakan
konsentrasi formalin yang terdapat pada sampel tersebut berbeda. Semakin pekat
warna ungu pada sampel maka menunjukkan bahwa semakin banyak pula konsentrasi
formalin yang terapat pada sampel. Sedangkan sampel tahu, lontong, cilok, dan
mie basah tidak mengandung formalin. Hal ini didukung dengan hasil uji yang
menyatakan negatif (-) dan tidak berwarna ungu. Hal ini, mungkin dikarenakan
adanya perlakuan dengan perendaman pada air mendidih. Perendaman dengan air
mendidih dapat menurunkan kadar formalin yang terdapat pada sampel. Hal ini
juga dapat diketahui bahwa kandungan formalin yang sebelumnya ada pada sampel
mie basah dan sekarang tidak ada menunjukkan bahwa kadarnya sedikit.
BAB
6. PENUTUP
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a.
Formalin merupakan cairan jernih yang
tidak berwarna dengan bau menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan
tenggorokan dan rasa membakar
b. Formaldehid
(formalin) adalah larutan tidak berwarna, reaktif, dan dapat membentuk polimer
pada suhu normal pada saat berwujud gas
c. Formalin
banyak digunakan dalam berbagai jenis industri seperti pembuatan perabot dan
juga digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan bangunan
d. Metode Spot Test yaitu
metode analisa kimia dengan menggunakan reagent kit (kit tester).
e. Sensor
warna TCS 3200 adalah sensor warna buatan TAOS Parralax. TCS 3200 merupakan
produk penyempurnaan dari produk sebelumnya yaitu TCS 230
f. AVR
merupakan salah satu jenis mikrokontroler yang di dalamnya terdapat berbagai
macam fungsi khusus seperti ADC, EEPROM kapasitas 128 byte sampai dengan 512
byte
g. Pada
perlakuan tanpa perendaman dengan air mendidih, sampel ikan asin, mie basah dan
bakso mengandung formalin. Sedangkan sampel tahu, lonton, dan cilok tidak
mengandung formalin
h. Pada
perlakuan dengan perendaman pada air mendidih, sampel ikan asin dan bakso masih
mengandung formalin. Sedangkan sampel tahu, lontong, mie basah, dan cilok tidak
mengandung formalin
i.
Semakin pekat warna ungu pada sampel
maka menunjukkan bahwa semakin banyak pula konsentrasi formalin yang terapat
pada sampel
j.
Perendaman dengan air mendidih dapat
menurunkan kadar formalin yang terdapat pada sampel.
6.2 Saran
a.
Sebaiknya praktikan mengurangi bicara
agar praktikum dapat berjalan tenang dan lancar
b.
Terima kasih kepada asisten yang baik
hati J
DAFTAR
PUSTAKA
Adawyah
R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara
Astawan.
1999. Membuat Mei dan Bihun. Jakarta:
Penerbit Swadaya
Astawan,
Made. 2006. Mengenal Formalin dan
bahayanya. Jakarta: Penebar Swadya
Cahyadi, W.,
2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan
Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.
Cipta
Pangan, 2006. Formalin Bukan Formal. http://www.ciptapangan.com/files/downloadsmodule/@random4413d85398188/1142501871_buletin_cp_jan06.pdf [Diakses pada 02 Januari 2014].
Djarijah,
Abbas Siregar. 1995. Teknologi Tepat Guna
: lkan Asin. Yogyakarta: Kanisius.
Hamid,
H., 2012. Teknologi Rekayasa Chitosan
sebagai Pengawet dan Peningkat Kadar Protein pada Tahu. http://www.blogspot.com
[Diakses pada 02 Januari 2014].
Harmita. 2006. Buku Ajar Analisis Fisikokimia. Depok:
departemen farmasi FMIPA Universitas Indonesia
Herdiantini,
E., 2003. Analisis Bahan Tambahan Kimia (Bahan
Pengawet Dan Pewarna) Yang Dilarang Dalam Makanan. Bandung: Fakultas Teknik Universitas Pasundan.
Mahdi, C dan
Mubarrak, Shofi A. 2008. Uji Kandungan Formalin, Borak dan Pewarna Rhodamin
pada Produk Peternakan Dengan Metode Spot Test. Berkala Ilmiah Perikanan
Vol.3. Malang: Universitas Brawijaya.
Noor,
Etty D. 2010. Pembuatan Alat Pendeteksi
Kadar Beta Karoten Menggunakan Sensor
Warna TCS230. Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang.
Norman,
R.O.C and D.J. Waddington, 1983. Modern
Organic Chemistry. New York: Colliens Educational.
Reuss G, W.
Disteldorf, A.O.Gamer. 2005. Formaldehyde in Ullmann’s Encyclopedia
of Industrial Chemistry Wiley-VCH. http://en.wikipedia.org/wiki/Formaldehyde.
[Diakses pada 03 Januari 2014].
Tarwotjo,
I. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Tim
Pengajar Pendidikan Industri Tahu. 1981. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan. Bogor: Institut Pertanian
Bogor-Press.
WAAC
Newsletter, 2007. Formaldehid:
Detection and Mitigation. http://www.wikipedia.com . [Diakses pada 03 Januari 2014].
Wasito S. 2004. Data
Sheet Book 1. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Widyaningsih
DT dan SM Erni. 2006 . Formalin. Surabaya : Penerbit Trubus Agrisarana.
Widyaningsih,
T.W, dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif
Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Surabaya: Trubus Agirasana.
Yuliarti.
2007. Awas Bahaya Di Balik Lezatnya
Makanan. Yogyakarta : Penerbit Andi