Minggu, 12 Januari 2014

Laporan Formalin

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dewasa ini, produk pangan semakin baragam bentuknya, baik itu dari segi jenisnya maupun dari segi rasa dan cara pengolahannya. Namun seiring dengan semakin pesatnya teknologi pengolahan pangan, penambahan bahan-bahan aditif pada produk pangan sulit untuk dihindari. Akibatnya keamanan pangan telah menjadi dasar pemilihan suatu produk pangan yang akan dikonsumsi. Keamanan pangan merupakan hal yang sedang banyak dipelajari, karena manusia semakin sadar akan pentingnya sumber makanan dan kandungan yang ada di dalam makanannya. Hal ini terjadi karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan serta kemajuan teknologi, sehingga diperlukan suatu cara untuk mengawasi keamanan pangan.
Dalam proses keamanan pangan, dikenal pula usaha untuk menjaga daya tahan suatu bahan sehingga banyaklah muncul bahan-bahan pengawet yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan. Namun dalam praktiknya di masyarakat, masih banyak yang belum memahami perbedaan penggunaan bahan pengawet untuk bahan-bahan pangan dan non pangan. Formalin merupakan salah satu pengawet non pangan yang sekarang banyak digunakan untuk mengawetkan makanan.
Formalin adalah nama dagang dari campuran formaldehid, metanol dan air. Formalin yang beredar di pasaran mempunyai kadar formaldehid yang bervariasi, antara 20% - 40%. Formalin memiliki kemampuan yang sangat baik ketika mengawetkan makanan, namun walau daya awetnya sangat luar biasa, formalin dilarang digunakan pada makanan karena berbahaya untuk kesehatan manusia. Bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan formalin bermacam-macam, misal mual, muntah, bahakan dapat menyebabkan kanker. Hal ini disebabkan oleh bahaya residu yang ditinggalkannya bersifat karsinogenik bagi tubuh manusia.
Oleh karena itu perlu dilakukan uji formalin pada berbagai produk pangan seperti bakso, mie basah, ikan asin dan lain-lain. Hal ini bertujuan agar kita dapat mengetahui produk apa saja yang mengandung pengwet buatan (formalin).
1.2  Tujuan
a.       Untuk mengetahui cara mengindetifikasi formalin dalam bahan pangan dan makanan
b.      Untuk ciri-ciri makanan yang mengandung formalin.


BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Formalin 

Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna dengan bau menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan rasa membakar. Bobot tiap mililiter adalah 1,08 gram. Dapat bercampur dengan air dan alkohol, tetapi tidak bercampur dengan kloroform dan eter (Norman and Waddington, 1983). Didalam formalin mengandung sekitar 37% formaldehid dalam air, biasanya ditambah methanol hingga 15% sebagai pengawet. Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Nama lain dari formalin adalah Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith (Astawan, Made, 2006). Berat Molekul Formalin adalah 30,03 dengan Rumus Molekul HCOH. Karena kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh. Gugus karbonil yang dimilikinya sangat aktif, dapat bereaksi dengan gugus –NH2 dari protein yang ada pada tubuh membentuk senyawa yang mengendap (Harmita, 2006).
Rumus bangun formalin:             
O
H               C
                                                      H
Formaldehid (formalin) adalah larutan tidak berwarna, reaktif, dan dapat membentuk polimer pada suhu normal pada saat berwujud gas. Kalor pembakaran untuk gas formalin 4,47 Kcal / gram. Daya bakar dilaporkan pada rentang volume 12,5 – 80 % di udara. Campuran 65 – 70 % formaldehid di dalam udara sangat mudah terbakar. Formaldehid dapat terdekomposisi menjadi metanol dan karbonmonooksida pada suhu 150oC dan pada suhu 300˚C jika dekomposisi tidak menggunakan katalis. Pada tekanan atmosfer formaldehid mudah mengalami fotooksidasi menjadi karbondioksida (WAAC Newsletter, 2007). Larutan formaldehid atau larutan formalin mempunyai nama dagang formalin, formol atau mikrobisida dengan rumus molekul CH2O mengandung 37 % gas formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan 10 – 15% metanol untuk menghindari polimerisasi. Larutan ini sangat kuat dan dikenal dengan larutan formalin 40% yang mengandung 40 gram formaldehid dalam 100 ml pelarut (Cahyadi, 2006).

2.2    Karakteristik Formalin
Formalin atau Senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal), merupakan aldehida berbentuknya gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida awalnya disintesis oleh kimiawan Rusia Aleksandr Butlerov tahun 1859, tapi diidentifikasi oleh Hoffman tahun 1867. Formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan yang mengandung karbon. Terkandung dalam asap pada kebakaran hutan, knalpot mobil, dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi, formaldehida dihasilkan dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana dan hidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Formaldehida dalam kadar kecil sekali juga dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia (Reuss 2005).
Meskipun dalam udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut dalam air (biasanya dijual dalam kadar larutan 37% menggunakan merk dagang ‘formalin’ atau ‘formol’ ). Dalam air, formaldehida mengalami polimerisasi dan sedikit sekali yang ada dalam bentuk monomer H2CO. Umumnya, larutan ini mengandung beberapa persen metanol untuk membatasi polimerisasinya. Formalin adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara 10%-40%. Meskipun formaldehida menampilkan sifat kimiawi seperti pada umumnya aldehida, senyawa ini lebih reaktif daripada aldehida lainnya. Formaldehida merupakan elektrofil, bisa dipakai dalam reaksi substitusi aromatik elektrofilik dan sanyawa aromatik serta bisa mengalami reaksi adisi elektrofilik dan alkena. Dalam keberadaan katalis basa, formaldehida bisa mengalami reaksi Cannizzaro, menghasilkan asam format dan metanol. Formaldehida bisa membentuk trimer siklik, 1,3,5-trioksana atau polimer linier polioksimetilena. Formasi zat ini menjadikan sifat-sifat gas formaldehida berbeda dari sifat gas ideal, terutama pada tekanan tinggi atau udara dingin. Formaldehida bisa dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi asam format, karena itu larutan formaldehida harus ditutup serta diisolasi supaya tidak kemasukan udara (Reuss 2005).
2.3  Fungsi Formalin
Oleh karena harganya yang terjangkau, formalin banyak digunakan dalam berbagai jenis industri seperti pembuatan perabot dan juga digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan bangunan. Selain itu, formalin juga digunakan sebagai bahan pengawet mayat dan agen fiksasi di laboratorium. Bahan pengawet ini, menurut Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI, Dr. Leonardus Broto Kardono (2006).
Penggunaan formalin diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Pembunuh kuman sehingga digunakan sebagai pembersih lantai, gudang, pakaian dan kapal.
b.      Pembasmi lalat dan serangga.
c.       Bahan pembuat sutra bahan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak.
d.      Dalam dunia fotografi digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas.
e.        Bahan pembentuk pupuk berupa urea.
f.        Bahan pembuatan produk parfum.
g.      Pencegah korosi untuk sumur minyak.
h.      Bahan untuk isolasi busa.
i.        Bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood)
(Oke, 2008).
Larutan formaldehid adalah disinfektan yang efektif melawan bakteri vegetatif, jamur atau virus tetapi kurang efektif melawan spora bakteri. Formaldehid bereaksi dengan protein dan hal tersebut mengurangi aktivitas mikroorganisme. Efek sporosidnya meningkat, yang meningkat tajam dengan adanya kenaikan suhu. Larutan 0,5 % formaldehid dalam waktu 6 – 12 jam dapat membunuh bakteri dan dalam waktu 2 – 4 hari dapat membunuh spora, sedangkan larutan 8% dapat membunuh spora dalam waktu 18 jam. Formaldehid memiliki daya antimicrobial yang luas yaitu terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aerogenosa, Pseudomonas florescens, Candida albicans, Aspergillus niger, atau Penicillium notatum. Mekanisme formaldehid sebagai pengawet diduga bergabung dengan asam amino bebas dari protoplasma sel atau mengkoagulasikan protein (Cahyadi, 2006).
Formaldehid membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air) sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di permukaan. Artinya formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya supaya tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila desinfektan lainnya mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara membunuh maka formalin akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan berikutnya (Cipta Pangan, 2006)
Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut protein mengeras dan tidak dapat larut (Herdiantini, 2003). Sifat penetrasi formalin cukup baik, tetapi gerakan penetrasinya lambat sehingga walaupun formaldehid dapat digunakan untuk mengawetkan sel-sel tetapi tidak dapat melindungi secara sempurna, kecuali jika diberikan dalam waktu lama sehingga jaringan menjadi keras (Herdiantini, 2003).
2.4    Macam-macam Metode Uji Formalin
2.4.1 Metode Spot Test
Beberapa metode analisa kimia yang sudah ada, untuk penetapan kandungan formalin, borak, dan zat pewarna berbahaya salah satunya dapat dilakukan dengan metode spot test. Yaitu metode analisa kimia dengan menggunakan reagent kit (kit tester). Metode ini mempunyai keistimewaan antara lain cepat, murah, pasti dan tidak memerlukan peralatan yang rumit dan dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun (Shofi A, 2008).
Prinsip kerjanya adalah dengan menambahkan cairan (reagent) pada bahan makanan yang diduga menggunakan bahan yang diselidiki, dengan hasil akhir terjadinya perubahan warna khas. FMR (formalin main reagent) merupakan salah satu jenis kit tester kandungan formalin. Kit tester tersebut merupakan salah satu penemuan dari dosen FMIPA UB Malang. Produk kit FMR tersebut ditunjukan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Reagen kit FMR (Shofi A, 2008).
2.4.2 Sensor Warna TCS 3200
Sensor warna TCS 3200 adalah sensor warna buatan TAOS Parralax. TCS 3200 merupakan produk penyempurnaan dari produk sebelumnya yaitu TCS 230. Perbedaan antara TCS 3200 dan TCS 230 adalah konsumsi arusnya (Noor, 2010). Bentuk fisik dari sensor warna ditunjukan dalam gambar 2.
Gambar 2. Modul Sensor Warna TCS 3200 (Noor, 2010)
2.4.3 Mikrokontroler AVR ATmega8
·         AVR merupakan salah satu jenis mikrokontroler yang di dalamnya terdapat berbagai macam fungsi khusus seperti ADC, EEPROM kapasitas 128 byte sampai dengan 512 byte. Mikrokontroller dengan konsumsi daya rendah ini mampu mengeksekusi instruksi dengan kecepatan maksimum 16MIPS pada frekuensi 16MHz. Jika dibandingkan dengan ATmega8L perbedaannya hanya terletak pada besarnya tegangan yang diperlukan untuk bekerja. ATmega8 tipe L, dapat bekerja dengan tegangan antara 2,7 - 5,5 V sedangkan untuk ATmega8 hanya dapat bekerja pada tegangan antara 4,5 5,5 V (Wasito S, 2004). Adapun konfigurasi pin dari ATmega8 ditunjukan dalam gambar 3.
Gambar 3. Konfigurasi pin ATmega8 (Wasito S, 2004)

2.5    Karakteristik Sampel
2.5.1   Tahu
Tahu merupakan hasil olahan dari bahan dasar kacang kedelai melalui proses pengendapan dan penggumpalan oleh bahan penggumpal. Tahu ikut berperan dalam pola makan sehari-hari sebagai lauk pauk maupun sebagai makanan ringan. Kacang kedelai sebagai bahan dasar tahu mempunyai kandungan protein sekitar 30-45%. Dibandingkan dengan kandungan protein bahan pangan lain seperti daging (19%), ikan (20%) dan telur (13%), ternyata kedelai merupakan bahan pangan yang mengandung protein tertinggi. Penggunaan CaSO4 merupakan cara penggumpalan tradisional yang dapat menghasilkan tahu yang bermutu baik (Tim Pengajar Pendidikan Industri Tahu, 1981).
 Tahu termasuk bahan makanan yang berkadar air tinggi. Besarnya kadar air dipengaruhi oleh bahan penggumpal yang dipakai pada saat pembuatan tahu. Bahan penggumpal asam menghasilkan tahu dengan kadar air lebih tinggi dibanding garam kalsium. Bila dibandingkan dengan kandungan airnya, jumlah protein tahu tidak terlalu tinggi, hal ini disebabkan oleh kadar airnya yang sangat tinggi. Makanan-makanan yang berkadar air tinggi umumnya kandungan protein agak rendah. Selain air, protein juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan bahan mempunyai daya awet rendah (Hamid, 2012).
Tahu diproduksi dengan memanfaatkan sifat protein, yaitu akan menggumpal bila bereaksi dengan batu tahu. Penggumpalan protein oleh batu tahu akan berlangsung secara cepat dan serentak di seluruh bagian cairan sari kedelai, sehingga sebagian besar air yang semula tercampur dalam sari kedelai akan terperangkap di dalamnya. Pengeluaran air yang terperangkap tersebut dapat dilakukan dengan memberikan tekanan. Semakin besar tekanan yang diberikan, semakin banyak air dapat dikeluarkan dari gumpalan protein. Gumpalan protein itulah yang kemudian disebut sebagai tahu (Bayuputra, 2011).
Kandungan air di dalam tahu ternyata bukan merupakan hal yang merugikan. Oleh beberapa pengusaha, hal tersebut justru dimanfaatkan untuk memproduksi tahu dengan tingkat kekerasan yang rendah (tahu gembur). Dalam proses pembuatan tahu gembur, air yang dikeluarkan hanya sebagian kecil, selebihnya dibiarkan tetap berada di dalam tahu. Dengan demikian, akan dihasilkan tahu yang berukuran besar namun gembur (Bayuputra, 2011).

Tabel 1. Kandungan gizi tahu
No
Unsur gizi
Kadar/100 g bahan tahu
1
Energi (kal)
79
2
Protein (g)
7,8
3
Mineral (g)
2,2
4
Kalsium (mg)
124
5
Fosfor (mg)
63
6
Zat besi (mg)
0,8
7
Vitamin A (mcg)
0
8
Vitamin B (mg)
0.06
9
Air
12,5
Sumber : (Bayuputra, 2011)
2.5.2   Lontong
Lontong merupakan salah satu cara penyajian nasi berbahan dasar beras. Lontong berbentuk nasi yang dipadatkan karena dimasak dengan air namun ditekan dengan pembungkus biasanya daun pisang atau plastik. Lontong mempunyai tekstur kenyal dan lembut serta dapat bertahan hingga dua hari jika disimpan dalam lemari pendingin (Tarwodjo,1998).
Pada proses pembuatan lontong dapat dilakukan dengan memasukkan beras ke dalam panci. Tuangkan air hingga setinggi satu ruas jari dari permukaan beras. Masak sampai menjadi aron. Ambil selembar daun pisang, taruh 3 hingga 4 sendok makan beras aron di atasnya. Gulung hingga berbentuk bulat panjang bergaris tengah 4 cm. Semat kedua ujungnya dengan lidi. Lakukan hingga semua beras aron terbungkus. Didihkan air yang banyak dalam panci, masukkan gulungan beras ke dalamnya hingga terendam air. Rebus selama 4 jam, bila air berkurang tambahkan air panas secukupnya. Setelah lontong matang, angkat, tiriskan kemudian didinginkan.
2.5.3   Ikan asin
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai 90%, dengan jaringan pengikat sedikit sehigga mudah dicerna (Adawyah, 2007). Ikan merupakan komoditi ekspor yang mudah mengalami pembusukan dibandingkan produk daging, buah dan sayuran. Pembusukan pada ikan terjadi karena beberapa kelemahan dari ikan yaitu tubuh ikan mengandung kadar air tinggi (80%) dan pH tubuh mendekati netral, sehingga memudahkan tumbuhnya bakteri pembusuk, daging ikan mengandung asam lemak tak jenuh berkadar tinggi yang sifatnya mudah mengalami proses oksidasi sehingga seringkali menimbulkan bau tengik, jaringan ikat pada daging ikan sangat sedikit sehingga cepat menjadi lunak dan mikroorganisme cepat berkembang.
Oleh karena beberapa kelemahan tersebut, para produsen melakukan penghambatan kebusukan dari ikan dengan membuat kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan mikroba, sehingga mikroba dapat ditekan pertumbuhannya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan proses penggaraman dan pengeringan yang kemudian hasil produksinya disebut dengan ikan asin. Ikan asin diproduksi dari bahan ikan segar atau ikan setengah basah yang ditambahkan garam 15-20%. Walaupun kadar air didalam tubuh ikan masih tinggi 30-35 persen, namun ikan asin dapat disimpan agak lama karena penambahan garam yang relatif tinggi tersebut. Untuk mendapatkan ikan asin berkualitas bahan baku yang digunakan harus bermutu baik, garam yang digunakan biasanya garam murni berwarna putih bersih. Garam ini mengandung kadar natrium chlorida (NaCl) cukup tinggi, yaitu sekitar 95 %. Komponen yang biasa tercampur dalam garam murni adalah MgCl2 (magnesium chlorida), CaCl2 (calsium chlorida), MgSO4 (magnesium sulfat), CaSO4 (calsium sulfat), lumpur, dll. Jika garam yang digunakan Mg (magnesium) dan Ca (calsium) akan menghambat proses penetrasi garam ke dalam daging ikan, akibatnya daging ikan berwarna putih, keras, rapuh dan rasanya pahit. . Jika garam yang digunakan mengandung Fe (besi) dan Cu (tembaga) dapat mengakibatkan ikan asin berwarna coklat kotor atau kuning (Djarijah, 1995).

2.5.4   Cilok
Pentol cilok adalah makanan ringan menyerupai pentol yang terbuat dari tepung kanji, berasa gurih dan kenyal. Awalnya makanan ini merupakan khas dari Jawa Barat, namun sekarang sudah mulai merambah ke daerah-daerah lain. Perlu diwaspadai akan kemanan pangan dari pentol cilok tersebut, karena biasanya pentol cilok dijual dalam keadaan terbuka dan dibiarkan dalam waktu yang lama, sehingga memungkinkan terjadinya cemaran oleh mikroba. Cemaran oleh mikroba pada pentol cilok juga dipengaruhi oleh sanitasi selama proses pengolahan serta higiene dari penjamah makanan. Selain cemaran oleh mikroba, keamanan pangan pentol cilok juga dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan, kualitas dari bahan-bahan tersebut, penggunaan bahan tambahan makananan serta keberadaan bahan berbahaya dalam pembuatan pentol cilok.
2.5.5   Mie basah
Mie basah adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan, dimana kadar airnya tinggi dapat mencapai 52% sehingga memiliki daya tahan yang singkat. Salah satu jenis mi yang termasuk dalam mi basah adalah mi tiaw. Mi basah memiliki daya tahan yang singkat, karena mengandung kadar air yang cukup tinggi. Dimana pada suhu kamar mie basah hanya bertahan selama 10-12 jam, sehingga perlu ditambahkan bahan pengawet untuk meningkatkan daya simpannya (Widyaningsih & Murtini, 2006). Komposisi gizi mie basah secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
 
Tabel 2. Komposisi Gizi Mie Basah per 100 g Bahan
Zat gizi
Mie Basah
Energy (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Besi
Vitamin A
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (mg)
86
0,6
3,3
14
13
0,8
-
-
-
80
Sumber : Astawan, (1999)
Menurut Astawan, (1999), mie basah yang baik adalah mie yang secara kimiawi mempunyai nilai kimia yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Departemen Perindustrian melalui SII 2046-90. Persyaratan tersebut data dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Syarat Mutu Mie Basah (SII 2046-90)
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
1.      Keadaan :
a.       Bau
b.      Warna
c.       Rasa


Normal
Normal
Normal
2.      Kadar air
%, b/b
20-35
3.      Abu
%, b/b
Maksimum 3
4.      Protein
%, b/b
Maksimum 8
5.      Bahan tambahan makanan:
a.       Boraks dan asam sorbat
b.      Pewarna
c.       Formalin



Tidak boleh

Yang diizinkan
Tidak boleh
6.      Pencemaran logam:
a.       Timbale (Pb)
b.      Tembaga (Cu)
c.       Seng (Zn)
d.      Raksa (Hg)

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg


Maksimum 1,0
Maksimum 10,0
Maksimum 40,0
Maksimum 0,05
7.      Pencemaran mikrobia:
a.       Angka lempeng total
b.       E.coli
c.       Kapang


Koloni/g

APM/g
Koloni/g


Maksimum 1,0 x 106

Maksimum 10
Maksimum 1,0 x 104
Sumber : Astawan, (1999)
2.5.6   Bakso
Bakso merupakan salah satu produk olahan yang sangat populer. Banyak orang menyukainya, dari anak-anak sampai orang dewasa. Bakso tidak saja hadir dalam sajian seperti sajian mie bakso maupun mie ayam. Bola-bola daging ini juga biasa digunakan dalam campuran beragam masakan lainnya, sebut saja misalnya nasi goreng, mie goreng, capcay, dan aneka sop (Widyaningsih, 2006).
Bakso merupakan produk dari protein daging, baik daging sapi, ayam ikan maupun udang. Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama garam dapur (NaCl), tepung tapioka, dan bumbu berbentuk bulat seperti kelereng dengan berat 25-30 gr per butir. Bakso memiliki tekstur kenyal seperti ciri spesifiknya, kualitas bakso sangat bervariasi karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dan tepung dan proses pembuatannya (Widyaningsih, 2006).
 BAB 3.METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
a.    Mortar dan alu
b.    Tabung reaksi dan rak tabung reaksi
c.    Cawan petri
d.   Gelas ukur 10 ml
e.    Spatula kaca
f.     Beaker glass 50 ml
g.    Beaker glass 600 ml
h.    Vortex
i.      Sendok
j.      Rak plastik

3.1.2 Bahan
a.    Tahu
b.    Lontong
c.    Ikan asin
d.   Cilok
e.    Mie basah
f.     Bakso
g.    Label
h.    Air mendidih
i.      Aquades
j.      Reagen A dan B


BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
4.1 Hasil Pengamatan
a. P1
Sampel
Formalin
Boraks
Hasil Uji
Warna
Hasil Uji
Warna
Tahu
-
-
-
-
Lontong
-
-
-
-
Ikan Asin
+
++++
-
-
Cilok
-
-
-
-
Mie Basah
+
++
+
++++
Bakso
+
+++
-
-

b. P2
Sampel
Formalin
Boraks
Hasil Uji
Warna
Hasil Uji
Warna
Tahu
-
-
-
-
Lontong
-
-
-
-
Ikan Asin
+
++++
-
-
Cilok
-
-
-
-
Mie Basah
-
-
-
-
Bakso
+
++
-
-

Keterangan :
·         Formalin semakin + semakin ungu
·         Boraks semakin + semakin merah bata
·         Maksimal hingga 4+

4.2 Hasil Perhitungan
     Dalam praktikum ini tidak dilakukan perhitungan
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1  Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Pada pengujian kandungan formalin, yang pertama dilakukan adalah menyiapkan sampel sebanyak 10 gram. Sampel yang digunakan  dalam praktikum ini adalah tahu, lontong, ikan asin, cilok, mie basah dan bakso. Sampel tersebut kemudian dilakukan dua perlakuan yang berbeda yaitu dilakukan perendaman dan tanpa perendaman. Perbedaan perlakuan ini untuk mengetahui pengaruh perendaman terhadap kandungan formalin dalam sampel. Kemudian sampel dicincang dan dihaluskan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pelarutan zat-zat yang terdapat dalam sampel. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air mendidih yang bertujuan untuk mempermudah pelarutan zat-zat yang terdapat di dalam sampel karena pengaruh suhu tinggi yang dapat mepercepat laju reaksi. Kemudian tunggu sampai campuran tersebut dingin agar kandungan dalam sampel benar-benar bereaksi dengan air tersebut. Setelah itu, diambil filtratnya dan ditetesi dengan 4 tetes reagen A dan reagen B sebagai peraksi agar dapat terjadi perubahan warna pada larutan sampel untuk menunjukkan ada atau tidaknya formalin dalam bahan pangan tersebut. Selanjutnya, dilakukan pengocokan menggunakan vortex untuk menghomogenkan larutan. Setelah itu ditunggu antara 5 sampai 10 menit agar reaksi dalam larutan optimal. Tahap terakhir adalah dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna pada larutan tersebut. Apabila larutan berubah menjadi ungu maka larutan positif mengandung formalin. Kemudian dilakukan pencatatan terhadap hasilnya.

5.2  Analisis Data
Penggunaan formalin pada bahan pangan berbahaya karena. Oleh sebab itu, sangat dilarang menggunakan formalin sebagai bahan campuran dan pengawet makanan. Dapat kita ketahui bahwa formalin merupakan senyawa kimia yang  biasanya digunakan sebagai antibakteri atau pembunuh kuman dalam berbagai keperluan jenis industri, pengawet produk kosmetika, pengeras kuku dan bahan untuk insulasi busa dan masih banyak lainnya. Namun, penggunaan formalin oleh sebagian orang disalah gunakan dengan menggunakannya pada bahan pangan untuk mengawetkan makanan.
Pengujian kandungan formalin dilakukan terhadap beberapa sampel yaitu tahu, lontong, cilok, bakso, mie basah, dan ikan asin dengan dua perlakuan yang berbeda yaitu direndam dan tanpa perendaman. Analisis yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya formalin dalam makanan dan untuk mengetahui pengaruh tanpa perendaman dan perendaman dengan air mendidih.
Pada perlakuan tanpa perendaman dengan air mendidih, didapatkan sampel ikan asin, mie basah dan bakso mengandung formalin karena hasil uji menunjukkan positif (+). Pada sampel ikan asin menunjukkan warna yang paling ungu. Kedua yaitu bakso dan yang terkecil yaitu mie basah. Perbedaan ini mungkin dikarenakan konsentrasi formalin yang terdapat pada sampel tersebut berbeda. Semakin pekat warna ungu pada sampel maka menunjukkan bahwa semakin banyak pula konsentrasi formalin yang terapat pada sampel. Menurut Yuliarti (2007), pada ikan asin dalam industri perikanan, formalin digunakan menghilangkan bakteri yang biasa hidup di sisik ikan. Formalin diketahui sering digunakan dan efektif dalam pengobatan penyakit ikan akibat ektoparasit seperti fluke dan kulit berlendir. Meskipun demikian, bahan ini juga sangat beracun bagi ikan. Ambang batas amannya sangat rendah sehingga terkadang ikan yang diobati malah mati akibat formalin daripada akibat penyakitnya. Formalin banyak digunakan dalam pengawetan sampel ikan untuk keperluan penelitian dan identifikasi. Namun para produsen mengunakannya secara sembarangan. Sedangkan sampel tahu, lontong, dan cilok yang dianalisis ternyata tidak menunjukkan hasil uji yang positif (+) dan tidak berwarna ungu. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahwa sampel tahu, lontong, dan cilok tersebut tidak mengandung formalin. Namun, kemungkinan sampel tahu, lontong, dan cilok yang dianalisis mengandung formalin, akan tetapi dalam konsentrasi yang sangat sedikit, sehingga saat dianalisis kualitatif tidak menunjukkan hasil positif.
Pada perlakuan dengan perendaman pada air mendidih, menunjukan bahwa sampel ikan asin dan bakso masih mengandung formalin karena hasil uji menunjukkan positif (+). Pada sampel ikan asin menunjukkan warna ungu yang lebih pekat dari pada sampel bakso. Perbedaan ini mungkin dikarenakan konsentrasi formalin yang terdapat pada sampel tersebut berbeda. Semakin pekat warna ungu pada sampel maka menunjukkan bahwa semakin banyak pula konsentrasi formalin yang terapat pada sampel. Sedangkan sampel tahu, lontong, cilok, dan mie basah tidak mengandung formalin. Hal ini didukung dengan hasil uji yang menyatakan negatif (-) dan tidak berwarna ungu. Hal ini, mungkin dikarenakan adanya perlakuan dengan perendaman pada air mendidih. Perendaman dengan air mendidih dapat menurunkan kadar formalin yang terdapat pada sampel. Hal ini juga dapat diketahui bahwa kandungan formalin yang sebelumnya ada pada sampel mie basah dan sekarang tidak ada menunjukkan bahwa kadarnya sedikit.

BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a.       Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna dengan bau menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan rasa membakar
b.      Formaldehid (formalin) adalah larutan tidak berwarna, reaktif, dan dapat membentuk polimer pada suhu normal pada saat berwujud gas
c.       Formalin banyak digunakan dalam berbagai jenis industri seperti pembuatan perabot dan juga digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan bangunan
d.      Metode Spot Test yaitu metode analisa kimia dengan menggunakan reagent kit (kit tester).
e.       Sensor warna TCS 3200 adalah sensor warna buatan TAOS Parralax. TCS 3200 merupakan produk penyempurnaan dari produk sebelumnya yaitu TCS 230
f.       AVR merupakan salah satu jenis mikrokontroler yang di dalamnya terdapat berbagai macam fungsi khusus seperti ADC, EEPROM kapasitas 128 byte sampai dengan 512 byte
g.      Pada perlakuan tanpa perendaman dengan air mendidih, sampel ikan asin, mie basah dan bakso mengandung formalin. Sedangkan sampel tahu, lonton, dan cilok tidak mengandung formalin
h.      Pada perlakuan dengan perendaman pada air mendidih, sampel ikan asin dan bakso masih mengandung formalin. Sedangkan sampel tahu, lontong, mie basah, dan cilok tidak mengandung formalin
i.        Semakin pekat warna ungu pada sampel maka menunjukkan bahwa semakin banyak pula konsentrasi formalin yang terapat pada sampel
j.        Perendaman dengan air mendidih dapat menurunkan kadar formalin yang terdapat pada sampel.

6.2 Saran
a.       Sebaiknya praktikan mengurangi bicara agar praktikum dapat berjalan tenang dan lancar
b.      Terima kasih kepada asisten yang baik hati J

 

DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara
Astawan. 1999. Membuat Mei dan Bihun. Jakarta: Penerbit Swadaya
Astawan, Made. 2006. Mengenal Formalin dan bahayanya. Jakarta: Penebar Swadya
Bayuputra, 2011. Kandungan Gizi Tahu. http://bayuputra.com  [Diakses pada 02 Januari 2014].
Cahyadi, W., 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.
Cipta Pangan, 2006. Formalin Bukan Formal. http://www.ciptapangan.com/files/downloadsmodule/@random4413d85398188/1142501871_buletin_cp_jan06.pdf  [Diakses pada 02 Januari 2014].
Djarijah, Abbas Siregar. 1995. Teknologi Tepat Guna : lkan Asin. Yogyakarta: Kanisius.
Hamid, H., 2012. Teknologi Rekayasa Chitosan sebagai Pengawet dan Peningkat Kadar Protein pada Tahu. http://www.blogspot.com [Diakses pada 02 Januari 2014].
Harmita. 2006. Buku Ajar Analisis Fisikokimia. Depok: departemen farmasi FMIPA Universitas Indonesia
Herdiantini, E., 2003. Analisis Bahan Tambahan Kimia (Bahan Pengawet Dan Pewarna) Yang Dilarang Dalam Makanan.  Bandung: Fakultas Teknik Universitas Pasundan.
Mahdi, C dan Mubarrak, Shofi A. 2008. Uji Kandungan Formalin, Borak dan Pewarna Rhodamin pada Produk Peternakan Dengan Metode Spot Test. Berkala Ilmiah Perikanan Vol.3. Malang: Universitas Brawijaya.
Noor, Etty D. 2010. Pembuatan Alat Pendeteksi Kadar Beta Karoten Menggunakan Sensor Warna TCS230. Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Norman, R.O.C and D.J. Waddington, 1983. Modern Organic Chemistry. New York: Colliens Educational.
Oke, 2008. Mengenal Formalin. http://www.oke.or.id.[ Diakses pada 03 Januari 2014]
Reuss G, W. Disteldorf, A.O.Gamer. 2005. Formaldehyde in Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry Wiley-VCH. http://en.wikipedia.org/wiki/Formaldehyde. [Diakses pada 03 Januari 2014].
Tarwotjo, I. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Tim Pengajar Pendidikan Industri Tahu. 1981. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor-Press.
WAAC Newsletter, 2007. Formaldehid: Detection and Mitigation. http://www.wikipedia.com  . [Diakses pada 03 Januari 2014].
Wasito S. 2004. Data Sheet Book 1. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Widyaningsih DT dan SM Erni. 2006 . Formalin. Surabaya : Penerbit Trubus Agrisarana.
Widyaningsih, T.W, dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Surabaya: Trubus Agirasana.
Yuliarti. 2007. Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta : Penerbit Andi